Seorang wanita berkacak pinggang. Ia mengembuskan napas panjang. "Kamu lho nak, sudah ibu bilang jangan begitu, masih saja begitu! Jangan disentuh gelasnya, masih saja kamu buat mainan! Pecah kan jadinya!" sentaknya sambil melotot tajam.
Seorang anak tiba-tiba menangis. Setelah mengacungkan jari dan melempar emosi, wanita itu memeluk anak itu. Ia merasa tidak enak hati karena telah melukai perasaan anaknya.
Pernahkah Anda melihat orang marah? Pernahkah Anda sadar bahwa Anda pernah marah? Pernahkah Anda sebisa mungkin menahan amarah tetapi gagal dan akhirnya kelepasan juga?
Saya kira jawaban Anda untuk ketiganya adalah pernah, pernah, dan pernah. Sebijak-bijaknya Anda mengelola emosi, sehebat apa pun dasar pemikiran yang mengendalikan amarah, suatu saat Anda pasti pernah marah.
Mungkin karena ada hal pribadi yang terusik. Ada kenyataan yang tidak sesuai harapan. Ada kerja sama yang gagal dilakukan. Ada perasaan sebal melihat peraturan tidak dipatuhi.
Marah dan beragam bentuknya
Menurut KBBI, marah diartikan sangat tidak senang (karena dihina, diperlakukan tidak sepantasnya, dan sebagainya); berang; gusar. Oleh sebab marah itu merugikan orang, berbagai pedoman kehidupan tentang moral dan kebaikan mengajarkan agar sebisa mungkin kita tidak marah.
Merugikan memang. Kebanyakan, orang marah akan bersuara keras, memasang muka bengis, urat-urat leher tegang, lalu mengeluarkan kata-kata yang menyakiti orang yang dimarahi.
Jika terlalu parah, bisa umpatan, makian, cacian, kutukan, bahkan bahasa-bahasa kebun binatang. Suatu perkataan yang tidak seorang pun ingin mendengarnya.
Hal-hal yang dirasakan setelah marah
Pada satu sisi, kita merasa lega setelah marah. Ada emosi yang tertumpahkan. Ada unek-unek yang terkatakan. Ada kepuasan memberitahu yang benar kepada pelaku pelanggaran. Kita serasa di atas angin. Kita seperti beroleh hak untuk marah karena lebih benar darinya.Â
Ahli psikologi menunjukkan bahwa orang yang marah sangat mungkin melakukan kesalahan karena kemarahan menyebabkan kehilangan kemampuan pengendalian diri dan penilaian objektif (Raymond, 2000).
Berdasarkan pengalaman, saya melihat selain lega, ada perasaan tidak enak hati karena kesalahan-kesalahan yang timbul setelah marah. Jika tidak diselesaikan, ini mengganggu mental kita. Terkadang bisa menjadi beban pikiran.
Apa saja yang mengganggu ketenteraman hati kita seusai marah?
Sadar telah melukai orang
Siapa yang kesukaannya ingin dimarahi? Siapa yang biasa saja saat dimarahi orang? Siapa yang berharap terus dimarahi? Saya pikir tidak ada. Kita sepakat, marah adalah energi negatif yang semua orang tidak ingin mendapatkannya.
Ada perasaan terluka saat marah terjadi. Keadaan yang seolah-olah orang yang dimarahi disalahkan terus-menerus dan disudutkan menjadi penyebab suatu masalah besar.
Menyesal karena marah pada orang yang disayang
Beberapa waktu setelah marah, kita baru sadar bahwa amarah yang dilepaskan ditujukan untuk orang yang disayang. Orang yang kita cintai dan telah berbuat baik bagi kita.
Baik anak, saudara, teman dekat, maupun sahabat. Mereka adalah tempat kita berbagi suka dan duka. Tidak ada mereka, hidup terasa hampa. Memarahi mereka seakan sebuah penyesalan besar. Bagaimana bila mereka pergi menjauh?
Tahu ada potensi hubungan yang bisa rusak
Bagi pihak yang marah, tahu pasti bahwa ada potensi hubungan yang rusak. Jika dibiarkan lama-lama, tanpa ada kemauan untuk mengalah dan meminta maaf, hubungan dengan orang yang dimarahi berpotensi mendingin.
Rekaman atas marah yang tidak mengenakkan itu akan teringat jelas di pikiran korban. Manusia sebagian besar lebih mudah mengingat keburukan daripada kebaikan, bukan?
Bingung bagaimana berpapasan dengannya
Perasaan ini terjadi karena antarpihak -- baik yang marah maupun dimarahi -- rutin bertemu setiap hari. Boleh di rumah, bisa di kantor, dapat di sekolah, maupun tempat lain yang keduanya sama-sama selalu beraktivitas.
Sejalan dengan potensi rusaknya hubungan, tiap-tiap pihak akan bingung saat berpapasan atau tatap muka. Jika masih merasakan pahitnya kemarahan dan ketidakenakan selepas marah, diam-diaman bisa terjadi. Akan lebih lama jika tidak ada yang mencoba memperbaiki hubungan.
Takut jika marah mengguncang mentalnya
Kita tidak pernah tahu bagaimana mental seseorang seusai dimarahi. Kita tidak tahu pula bagaimana orangtua mendidik tiap-tiap anak saat menghadapi kemarahan.
Kita takut, ucapan yang melukai hatinya disimpan lama-lama dan bisa mengganggu mentalnya. Ia menjadi pribadi yang pendiam. Takut berbicara karena takut dimarahi. Tidak berani mengutarakan pendapat karena takut disalahkan. Bayangan kemarahan kita mengubah sikapnya.
Pengalihan marah yang tidak merugikan
Oleh sebab itu, ada di antara kita yang mengubah marah konvensional menjadi marah yang seolah-olah bermanfaat. Setidaknya tidak merugikan. Boleh jadi seperti mencurahkan marah dengan menulis.
Marah bisa pula terekspresikan dengan menyendiri dan berdiam untuk beberapa waktu. Menarik diri dari perbincangan. Bagaimana marah sebisa mungkin tertumpahkan tanpa menyakiti hati orang. Bila bukan karena hikmat dan pemikiran secara komprehensif atas kejadian selama dan selepas marah, ini sulit dilakukan.
Akhir kata...
Selama hidup, kita pernah marah dan dimarahi. Kita sepakat, bahwa itu energi negatif dan kita sangat tidak suka mengalaminya. Hubungan dengan sesama berpotensi rusak besar karena marah.
Alangkah lebih baik memang, bila segala hal yang bermasalah diselesaikan secara baik-baik dengan duduk bersama. Tidak ada nada perkataan yang tinggi. Semua pasti ada solusi, tanpa harus menekan emosi. Teorinya sih gampang, praktiknya kerap gagal. Hahaha...
Jadi, kalau boleh tahu, bagaimana cara Anda menumpahkan kemarahan?
...
Jakarta
14 Juni 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H