"Kok dia begitu sih? Bodoh sekali caranya! Masak tidak tahu bagaimana seharusnya pada umurnya yang sudah segitu? Apa perlu diajari lagi? Malulah, sudah besar kok!" celetuk seorang wanita sambil berbisik di telinga seorang sahabat.
Ia terus mengkritik perilaku mantan pacarnya yang adalah teman sekantornya. Sahabat itu tersenyum. Ia tahu, wanita itu belum mampu melupakan sakit hatinya. Semua yang dilakukan mantannya selalu salah di hadapannya.
Pernahkah Anda menemui sosok yang mahir mencari kesalahan orang? Baik lewat perilaku maupun ucapan, tidak pernah ternilai benar dan selalu salah. Ketika dirinya dikritik, ia mengeluarkan berjuta-juta argumen untuk menyanggah.
Bisa dengan cara mengalihkan pembicaraan. Dapat pula melalui perdebatan sengit. Segala dalil dikeluarkan dan dirasionalkan olehnya, sehingga orang tidak berhasil menemukan cacat cela.
Waktu ditemukan pun, ia gengsi untuk mengakuinya. Berharap ia meminta maaf adalah hal mustahil. Ia masih saja terus merasa dirinya tetap benar. Seperti keras kepala.
Ia lebih cepat melihat kesalahan orang daripada milik sendiri. Dalam peribahasa, ada tiga edisi peribahasa yang saya pernah baca dan menggambarkan betul kondisi itu.
Edisi kuman:
Gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di seberang lautan tampak.
Edisi semut:
Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan terlihat.
Edisi perkataan Yesus Kristus di Injil Matius 7:3:
Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?
Ketiganya bermakna sama. Kesalahan kecil milik orang terlihat, yang besar milik pribadi gagal teramati. Matanya seolah-olah cermat menggunakan mikroskop, sehingga kesalahan punya orang walaupun telah disembunyikan rapat-rapat, masih saja dapat disaksikan.
Apakah yang boleh disimpulkan atas ketidaksanggupan melihat "gajah" yang bermiliar-miliar kali ukuran "semut" dan "balok" yang juga begitu besar dibanding "selumbar", selain pikiran dan hati yang telah buta?
Makna tersiratnya
Ya, peribahasa itu ada karena diri kita telah buta. Buta yang berarti tidak tahu (mengerti) sedikit pun tentang sesuatu.
Buta menilai diri sendiri
Siapa yang ingin dikoreksi? Siapa yang mau dinyatakan kesalahannya tepat di depannya? Siapa yang berani diungkap kesalahannya di hadapan orang? Jika ada, pasti sedikit.
Orang lebih memilih menunjukkan kebolehan dan keunggulan, dibanding menilai kesalahan pada diri. Dikorek-korek tentang apa yang tidak benar perihal perilaku dan ucapan itu kerap tidak enak. Sebagian besar kita menghindarinya. Tidak ingin diri dinilai, terutama soal kesalahan.
Buta mengingat kebaikan orang
Kita mampu melihat kesalahan orang walaupun sangat kecil, karena rekaman kebaikan-kebaikannya telah hilang sempurna. Tidak ada yang menjadi dasar pertimbangan untuk mengabaikan kesalahan itu.
Kita akan terus cecar, meskipun ia telah begitu banyak berbuat baik. Tanpa kompromi dalam menghukumnya atas kesalahan itu. Tidak ada belas kasihan barang sedikit untuk tidak mengingatnya.
Buta melupakan sakit hati
Yang ketiga ini lebih parah. Hati kita telanjur remuk karena perbuatan orang yang begitu menyakitkan. Ada kepahitan mendalam yang terus disimpan dan terlalu sulit dipulihkan.
Kita telanjur benci dan memandang bahwa segala yang dilakukan orang itu satu pun tidak ada yang benar. Semua salah. Hidupnya sangat salah. Dia terlahir pun seolah-seolah sebuah kesalahan.
Tidak ada yang luput
Peribahasa ini berlaku untuk semua orang. Tidak ada yang tidak pernah merasakan. Ketika emosi lebih mendominasi logika, sebijak apa pun otak mengendalikan diri kita, tetap akan kalah.
Kita kelepasan, rajin mengkritik, tanpa pernah "becermin". Terutama, bagi orang-orang yang hidupnya masih terjerembap dalam kubangan masa lalu. Selalu dibawanya, sakit dan segala penghinaan yang pernah dialaminya.
Dengan mengungkapkan kesalahan orang yang pernah menyakitinya, ia begitu puas. Seolah-olah dendam terbalaskan. Ia berhasil menyalahkannya seperti dahulu ia disalahkan.
Akhir kata...
Mari kita lebih banyak merenungi diri. Sudahkah kita dari hari ke hari menjadi pribadi yang lebih baik? Meninggalkan kesalahan-kesalahan dan terus bermanfaat?
Jika kiranya dalam satu dua hal kita hendak menyatakan kesalahan orang, seyogianya dipahami sungguh bahwa itu semata-mata untuk mengubahkannya ke arah yang benar. Berbicara empat mata adalah cara terbaik.
Tentu, kita lebih dahulu tidak melakukan kesalahan itu. Jangan sampai pernyataan itu malah terpantul untuk kita.
...
Jakarta
11 Juni 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H