Kafe itu hendak tutup. Sebagian pelayan merapikan kursi. Sebagian lagi bersih-bersih lantai dan mematikan lampu. Musik jazz yang mengalun mulai dikecilkan.
Seorang lelaki dan seorang perempuan masih duduk di depan meja. Si lelaki melihat jam tangannya berulang kali. "Mana dia? Jam segini kok belum datang?" tanyanya pada si perempuan. Perempuan itu hanya tersenyum. "Kamu seperti tidak kenal dia saja!" jawabnya.
Setelah menulis perihal budaya salam (Ojigi) yang terinspirasi dari negeri Jepang:
saya kembali tertarik mengulas sesuatu dari sana. Saya bukan pecinta Jepang, tetapi jika ada hal baik darinya, tidak ada salahnya kita pelajari dan terapkan. Namanya tepat waktu.
Merujuk ke tirto.id, ada tiga contoh peristiwa perihal tepat waktu yang menarik perhatian saya:
Menteri Penanggung Jawab Olimpiade, Yoshitaka Sakurada didesak untuk meminta maaf kepada seluruh masyarakat Jepang karena terlambat tiga menit dalam sebuah rapat parlemen.
Pada Mei 2018, perusahaan kereta api di Jepang, JR-Railways, meminta maaf karena tiba 25 detik lebih awal dari yang dijadwalkan, dan karenanya seorang penumpang ketinggalan kereta.
Kisah serupa juga dialami oleh Kanako Hosomura, seorang ibu rumah tangga di Prefektur Saitama, yang benci jika terlambat, meskipun hanya beberapa menit. “Saya sangat mending untuk datang lebih awal dari janji karena itu lebih baik daripada membuat seseorang menungguku,” katanya.
Ketepatan waktu adalah hal yang sangat penting bagi orang Jepang dan dianggap sebagai salah satu patokan sopan santun. Mereka diajarkan untuk tepat waktu sejak kecil.
Karakter masyarakat Jepang yang sangat mengagungkan ketepatan waktu adalah hal menyenangkan untuk dibahas bagi masyarakat dunia dan dianggap sebagai sebuah kebudayaan bangsa Jepang itu sendiri. Selengkapnya di sini.
Budaya tepat waktu
Tepat waktu terjadi karena adanya perjanjian, baik kepada diri sendiri maupun dengan orang lain. Semisal, saya terkena sakit mag dan berjanji makan tepat waktu tiga kali sehari. Jam tujuh pagi, dua belas siang, dan enam malam. Melewati itu berarti saya tidak tepat waktu.
Dalam interaksi dengan sesama, ketika kita tidak datang sesuai dengan waktu yang disepakati bersama, itu pun tidak tepat waktu. Ada yang kesal menunggu. Ada yang memaklumi karena tahu kebiasaan itu sulit diubah. Ada yang menerimanya dengan berbagai alasan.
Penyebab tidak tepat waktu
Ya, tidak bisa dihindarkan, sesekali, tidak tepat waktu dialami sebagian kita. Berdasarkan pengalaman saya pribadi, pelanggaran akan perjanjian waktu pernah terjadi.
Jika pada diri sendiri, saya hanya tersenyum dan begitu gampang memaklumi. Tetapi, jika melibatkan orang lain, itu membuat saya pikiran. Betapa tidak enaknya saya, telah mengganggu kenyamanan orang lain.
Saya catat ada tiga penyebabnya, mengapa saya dan mungkin Anda bisa tidak tepat waktu jika menghadiri sebuah pertemuan dengan orang lain:
Macet di perjalanan
Di kota besar terutama jalan utama yang dilewati kebanyakan orang, macet tidak dapat ditebak. Kebanyakan sering berlangsung dan memakan waktu yang tidak sebentar. Di ibu kota, sudah menjadi permakluman, alasan macet untuk pelanggaran waktu.
Cuaca tidak mendukung
Siapa yang bisa menebak cuaca? Panas terus belum tentu seketika tidak hujan. Kerap terjadi, gerimis saat panas terik. Jika hujan deras, bagi pengendara motor, pasti meneduh sebentar. Apabila banjir, putar balik. Ini menguras waktu.
Ada urusan mendadak atau belum selesai
Di luar kuasa kita, terkadang ada keperluan mendesak atau belum selesai dikerjakan sehingga tidak bisa ditunda. Kita memilih untuk menuntaskannya sebelum pergi ke tempat pertemuan.
Ketiga penyebab di atas bukannya tidak bisa diatasi. Kita bisa berangkat lebih dahulu setelah memperkirakan potensi kemacetan dan cuaca yang tidak bersahabat. Untuk alasan ketiga, sebaiknya meminta izin kepada yang telah menunggu di tempat.
Jika tidak karena ketiganya, berarti kebiasaan kita yang sebaiknya diubah.
Kehebatan menunggu
Pada sisi lain, orang yang menunggu wajib diapresiasi. Biasanya mereka akan memberi lebih banyak waktu dengan datang lebih awal, agar tidak ditunggu orang.
Mereka mengorbankan waktunya yang potensial lebih bermanfaat jika dipakai mengerjakan kegiatan produktif lain. Ya, menunggu bukan hal produktif. Sering membosankan.
Mereka ikhlas menunggu, karena yang ditunggu adalah "sesuatu". Semisal kekasih. Seseorang yang bisa membantu. Orang tua atau orang lainnya yang lebih senior.
Manfaat tepat waktu
Tepat waktu pun berimbas baik. Saya melihat ada empat manfaatnya:
Acara berlangsung baik
Jika semua hadir tepat waktu, pertemuan yang telah diagendakan dapat berlangsung baik. Acara demi acara terlaksana semua dengan waktu yang tidak terbuang gara-gara menunggu.
Menghargai waktu orang
Kita tidak pernah tahu waktu orang digunakan untuk apa. Setelah acara, mereka hendak berbuat apa? Jika karena kita acara menjadi molor, kita telah menyita waktu mereka yang berharga itu.
Melatih menggunakan waktu sebaik-baiknya
Dengan membiasakan diri tepat waktu, kita telah menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Tidak ada yang percuma. Semua dikerjakan sesuai jadwal. Semua selesai tanpa ada yang tertunda.
Memperbagus penjenamaan diri
Tidak ada yang menyangkal ini. Tepat waktu adalah kebiasaan baik. Orang yang memilikinya juga ternilai bercitra baik. Ia akan dikagumi dan menjadi teladan serta inspirasi bagi orang lain.
Penutup...
Tulisan ini ada bukan berarti saya adalah orang yang selalu tepat waktu. Justru, ini menjadi pengingat bagi saya untuk sebisa mungkin tepat dalam segala perjanjian waktu, baik kepada diri sendiri maupun orang lain.
Yuk, kita belajar tepat waktu. Mulai dari sekarang, jangan tunggu entar-entar. Masih zaman "jam karet"?
...
Jakarta
4 Juni 2021
Sang Babu Rakyat
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI