Seorang lelaki tidak habis pikir seusai membaca dua berita yang sedang viral dibahas. Ia mencoba mengerti dan menganalisis apa kemungkinan penyebab terjadinya.
Baginya, itu pengalaman yang biasa dialaminya. Bukan hal baru, bukan pula hal yang sebaiknya diviralkan. Ia hanya mengelus dada. "Semoga dapat menjadi pelajaran," katanya dalam hati.
Siapa yang tidak pernah berkunjung ke daerah wisata? Pantai, pegunungan, danau, daerah dengan kearifan budaya lokal, atau lainnya, sebagian besar kita pernah ke sana.
Meskipun kebutuhan tersier, ini penting untuk sesekali menyegarkan jasmani dan rohani, di tengah kesibukan rutinitas sehari-hari. Bisa berkunjung sendiri atau beramai-ramai bersama teman atau keluarga.
Dua kejadian viral
Baru-baru ini, ada kejadian viral yang sebetulnya bukan rahasia. Sebagian wisatawan paham benar, fenomena harga makanan di daerah wisata yang sedikit mahal dibanding biasanya.
Dari suara jogja.id dicatat, ada seorang gadis menyebarkan rekaman video berisi kekesalan atas harga makanan yang begitu mahal pada salah satu warung di kawasan Malioboro. Ia menganggap sangat tidak wajar, harga segitu untuk makanan itu.
Berita terkini, pedagang lesehan yang bersangkutan meminta maaf dan secara sukarela memberikan sanksi dengan tidak membuka warung selama tiga hari. Selengkapnya di sini.
Ada pula di Kompas, peristiwa kesalahan perhitungan harga mi rebus di daerah puncak, Bogor, yang membuat harga total melonjak drastis. Keduanya viral. Banyak komentar pro dan kontra dari warganet.
Penyebab harga mahal
Saya tengarai ada tiga sebab utama, mengapa harga makanan di daerah wisata lebih mahal daripada makanan serupa di kebanyakan warung. Bisa satu setengah kali atau dua kali lipat.
Biaya pembentuk harga
Kita tentu paham, harga makanan bukan bahan bakunya saja, contohnya: mi rebus. Tidak hanya mi instan, telur, dan sawi. Ada pula biaya kompor dan gas, sewa tempat, upah pekerja, listrik, dan lainnya, yang dimasukkan ke dalam harga. Akuntansi biaya mencatat itu semua.
Keterjangkauan lokasi
Bagi daerah wisata seperti air terjun terpencil di belakang bukit, yang ke sana harus melewati medan terjal dan ratusan anak tangga. Atau, puncak gunung yang dicapai hanya bisa dengan berjalan kaki. Keduanya, sangat sulit terjangkau.
Pengangkutan bahan makanan dari lokasi belanja ke daerah wisata patut diperhitungkan. Ada ongkos bensin di sana. Ada kelelahan fisik yang jika diduitkan cukup lumayan. Itu membentuk harga.
Keramaian pembeli
Daerah wisata tidak setiap hari ramai pengunjung. Biasanya, hanya ketika libur akhir pekan atau libur nasional, pembeli warung makan membeludak. Bagi penjual yang pekerjaannya hanya membuka warung, kenaikan sedikit harga hitung-hitung menutup sepinya pembeli di hari biasa.
Tip mengatur pengeluaran
Saya pribadi pernah mengunjungi daerah wisata. Saya selalu belajar dan mencoba mengerti, fenomena kemungkinan mahalnya harga makanan di daerah wisata.
Karena pengeluaran ke sana --semisal transportasi dan penginapan-- dan lelahnya fisik selama perjalanan sudah cukup besar, maka saya menerapkan empat tip berikut untuk mengendalikan pengeluaran dari segi makanan.
Cek daftar harga
Setiap ke warung, biasanya ada daftar harga terpajang di dindingnya. Mulai dari harga makanan utama, makanan pelengkap, sampai minuman. Terpampang besar dan terbaca jelas.
Kalau tidak, ada pula berupa sebuah kertas mika berwarna yang tergeletak di atas meja makan atau diagihkan oleh pelayan. Saya baca baik-baik di sana sebelum memesan makanan.
Tanya ke penjual
Jika tidak ada daftar harga, saya membuang ego dan tidak malu bertanya ke penjual, berapa seporsi harga makanan. Apakah saya terlihat miskin dan punya uang pas-pasan, saya masa bodoh.
Gengsi saya tinggal di rumah. Biar sama-sama enak, tidak ada yang tertipu. Penjual saya beli makanannya, saya puas pula antara harga dengan kualitas makanan.
Pilih warung langganan
Untuk beberapa daerah wisata yang kerap kita kunjungi, pasti ada satu dua warung yang terus bertahan dan berkali-kali kita makan di sana. Kita sudah paham harganya dan begitu mengerti kualitas makanannya.
Tidak perlu lagi observasi ke tempat lain. Toh, biasanya makanan di lokasi wisata hampir sama ragamnya. Semisal mi rebus di daerah puncak. Sebagian besar warung berderetan menjual mi rebus. Pilih saja yang langganan.
Bawa makan sendiri
Ini sedikit repot, tetapi paling aman. Kalau piknik zaman dahulu, pernah kita bawa rantang banyak-banyak dari rumah. Ibu memasak nasi beserta lauk dan sayuran.
Lebih sehat dan lebih higienis. Kita juga bisa memilih menu yang hendak dimakan. Pengeluaran uang lebih terkontrol karena kita sendiri yang belanja bahan bakunya.
Naluri alamiah
Saya tidak paham, mengapa ada dari kita begitu mudah memviralkan kekesalan atas lebih mahalnya harga makanan di daerah wisata. Tidak hanya akun pertama, tetapi juga akun-akun berikutnya yang membantu menyebarkannya.
Apakah kita ingin memberi pelajaran kepada warganet agar kejadian sama tidak terulang kembali? Apakah kita hendak mempermalukan pemilik warung makan sehingga ia mengerti dan mengubah harga menjadi lebih wajar?
Apakah kita semata-mata ingin menambah konten di media sosial lalu menjadi terkenal? Bagian ini, jika konten mewakili perasaan banyak orang, tidak dimungkiri terus dibagikan dan cepat tenar.
Atau, sekadar menumpahkan kekecewaan di akun pribadi? Kelanjutannya, tidak menyangka bahwa itu bisa viral? Memang, semua berhak mengunggah apa pun di media sosial. Tetapi, ada tanggung jawab yang mengikutinya.
Orang-orang juga sudah pintar terkait pengalaman di daerah wisata. Jika harga dirasa kemahalan, kalau bukan karena enak, kemungkinan besar mereka tidak kembali ke warung itu. Pemilik warung tentu menimbang-nimbang dalam menetapkan harga. Ia tidak ingin warungnya sepi.
Bagi saya, kerugian material berupa uang yang dialami dan dikesalkan hilang adalah tidak seberapa dibanding nama penjual yang telah tercoreng di mata banyak orang di media sosial.
Apakah kita ingin, penjual itu warungnya sepi pembeli, pekerjaannya hilang, lalu jadi pengangguran? Jika ada masalah, lebih baik diselesaikan antarpihak saja dan bila perlu dilaporkan ke pihak berwenang.
Kalau salah perhitungan -- semisal di nota -- tegur penjual dan minta memperbaiki. Jika telanjur pulang ke rumah, simpanlah notanya dan bawa kembali jika berlibur ke sana. Saya pribadi hanya menyimpannya sebagai pengalaman. Berikutnya, saya tidak akan ke warung itu lagi.
Akhir kata...
Saya rasa, masih ada kebaikan dan inspirasi yang lebih layak diviralkan. Mengapa malah keburukan yang sering unjuk gigi?
...
Jakarta
3 Juni 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H