Seorang lelaki mengambil handuk, pakaian ganti, dan peralatan mandi. Ia membuka bajunya dan membersihkan diri. Ia mengangkat gayung dan membasahi seluruh tubuh.
Dirasanya sesuatu yang janggal. Ada genangan air setinggi mata kaki di lantai kamar mandi. Ia melihat saringan pada lubang, tertutup. Gumpalan helai rambut kusut di sana.
Sekali waktu saya pernah begitu takut menyaksikan fenomena rambut di saringan kamar mandi. Bukan rambut hantu ya. Wkakaka... Begitu banyak, menggulung, dan tertumpuk hingga menyumbat. Lekas saya pegang kepala saya.
Saya raba-raba seluruh bagian kulit kepala dari depan, tengah, belakang, sampai pinggir. Apakah ada yang mulai tipis? Apakah sebagian telah gundul? Jujur, gundul adalah momok bagi saya.
Saya tidak suka dan tidak ingin gundul. Agar tidak terlalu stres, saya lekas alihkan ingatan pada sebuah lawakan kuno:
Kalau gundul di depan, berarti kita punya pandangan lebih maju tentang masa depan. Kalau gundul di belakang, masih tenggelam dalam masa lalu sehingga terus memikirkannya. Kalau gundul semua, berarti segala zaman dipikirkan. Orang gundul itu hebat. Seorang pemikir!
Sejenak saya tersenyum. Sejenak kemudian kembali tertegun. Apakah saya sudah terbilang tua sehingga rambut mulai rontok? Apakah anak muda juga bisa terserang gundul? Apakah tidak ada cara untuk menghindari gundul? Apakah memang siklus alamiah, gundul dialami para lelaki?
Saya malah sempat berpikir sekarang, apa sebaiknya saya mengurangi menulis di Kompasiana, agar tidak lekas gundul? Kan setiap menulis pasti berpikir. Jangan-jangan, apa karena itu?
Kejadian langka tentang gundul saya
Saya gundul dengan sengaja hanya sekali seumur hidup. Saat masuk kuliah. Waktu itu, mahasiswa baru, sesuai ketentuan ospek, wajib memotong rambutnya hingga panjangnya satu sentimeter.