Benar saja, semua telurnya berhasil. Banyak yang tumbuh dewasa, sekitar sepuluh ekor. Karena lokasi kami dalam perumahan dan jumlah ayam awalnya dua menjadi dua belas -- upah ketelatenan saya memelihara -- akhirnya Bapak merasa tidak enak dengan tetangga.
Satu demi satu ayam itu dipotongnya. Ada yang diberikan ke kerabat dekat. Ke tetangga pun ada. Mama memasaknya berwujud gulai ayam. Salah satu makanan kesukaan orang Batak, bersantan kental dan berwarna cokelat keemasan. Biasanya disajikan bersama potongan kentang.
Karena saya sadar bahwa itu adalah ayam saya yang dipotong, sekali lagi, saya sama sekali tidak menyentuhnya. Kendati gulai ayam adalah makanan kesukaan, saya tidak berminat makan daging itu.
Sudah dewasa, mencoba Patin
Belum lama ini, saya ingin menguji ketidaktegaan saya memakan hewan peliharaan. Karena masa pandemi, kebetulan lebih sering bekerja dari rumah, saya belilah beberapa ikan patin kecil dan pelihara beberapa bulan.
Awalnya hanya sepanjang jari telunjuk. Lama-kelamaan melebihi lebar setelapak tangan. Saat itu, menjelang bulan Ramadhan tahun lalu. Mulanya saya berencana membagikan ke teman kontrakan Muslim, sebagai menu buka puasa. Dimasak pindang Patin yang asam pedas itu enak juga.
Sayangnya, saya kembali tidak tega. Aneh sekali! Perasaan itu masih ada dari kecil. Akhirnya, ikan-ikan Patin yang sudah cukup besar itu, saya lepaskan di danau Sunter.Â
Ada sekitar tiga puluh ekor saya lepas liarkan. Seorang teman tertawa menagih janji. Teman satu lagi hanya tersenyum. Ia memang sudah menebak, orang seperti saya mana tega makan binatang peliharaan sendiri.
Mengapa kita tidak tega menyantap makanan dari daging hewan peliharaan sendiri?
Saya dan mungkin sebagian Anda mengalami perasaan yang sama. Selezat apa pun makanan yang disajikan, jika itu berasal dari sembelihan hewan peliharaan, sedikit pun tidak akan disentuh. Untuk saya, perasaan tidak tega itu masih mengakar kuat sampai dewasa ini. Ada tiga sebab yang memungkinkan rasa itu tetap bertahan.