Seorang siswa terduduk lesu. Ujian hari itu sangat gagal. Ia tidak menyangka, soal Bahasa Indonesia begitu rumit. Ia sadar, terlalu menganggap enteng sehingga belajar sekenanya.
Keluar dari ruang kelas, ia terus menundukkan kepala. Ia kesal terhadap dirinya. Ingin sekali ia mengulang hari kemarin dan belajar lebih keras. Bagaimana nanti reaksi orangtuanya saat mendapati nilainya buruk?
Anda pasti tahu apa itu tanda titik. Selama belajar (minimal sekolah dasar), waktu mengikuti Bahasa Indonesia -- terutama penyusunan kalimat --, kita diajari meletakkan titik di akhir kalimat.
Itu pertanda satu kalimat telah selesai dan kita berlanjut pada kalimat berikutnya. Berbeda dengan koma, yang mengartikan kalimat itu belum selesai dan masih ada terusannya.
Dalam kehidupan, bisa kita analogikan tanda titik sebagai saat mengakhiri sesuatu dan berpindah ke fase kehidupan berikutnya. Kita telah melewatinya, belajar darinya, lalu memutuskan untuk lanjut.
Tanda titik sangat diperlukan agar kehidupan kita dapat berlangsung lancar dan baik. Tidak terkendala berbagai masalah yang bisa mengurangi motivasi dan merusak diri. Berikut momen-momen tepatnya:
Memaafkan kesalahan orang
Ketika kita mantap memutuskan untuk memaafkan kesalahan orang pada kita, tanda titik wajib disematkan. Saat itu, sebaiknya diikuti dengan kemauan penuh melupakan kesalahannya.
Mengungkit kesalahannya dalam pikiran hanya menyakitkan hati. Menceritakan kesalahannya pada orang hanya merusak citra diri. Selain itu, kita jadi susah menjalin hubungan baik kembali dengannya.
Kesusahan sehari
Segala macam kesusahan yang diderita hari kemarin tidak perlu dibawa ke hari ini. Ketika jam dinding menunjukkan pukul 00.01, itu tandanya ada lembaran baru yang dibuka.
Kita bagaikan kertas putih kosong, yang siap digores cerita anyar. Membawa derita akan kesusahan kemarin hanya mengurangi semangat hidup dan merusak kebahagiaan hari ini.
Melewati kegagalan
Tidak selamanya orang sukses. Pasti adakalanya gagal. Kenyataan tidak sesuai harapan. Kekesalan kerap muncul. Kita berpikir sejenak untuk merenunginya. Sesekali terpaksa rehat untuk memulihkan diri.
Tidak ada yang salah dengan itu. Kegagalan wajib diterima sebagai salah satu fase kehidupan. Tetapi, jangan berhenti karenanya. Lewati saja dan belajar darinya. Suatu saat, pasti kita sukses.
Penghakiman diri
Berlanjut dari kegagalan, kita akan memeriksa kesalahan diri apa yang menjadi penyebabnya. Apakah kita bodoh, ceroboh, tidak cerdik, kurang bijak, atau memang bertindak buruk dan jahat?
Jika menyesal, tandanya kita sadar kesalahan itu merugikan. Boleh kita beri hukuman -- selain kegagalan -- agar diri jera. Setelah itu, tidak perlu lagi menghakimi.
Terus-terusan menyalahkan pribadi hanya membuat kita semakin tenggelam dalam keterpurukan. Kita perlahan lupa dengan keunggulan dan potensi diri. Keberhasilan semakin jauh dipandang mata.
Melakukan kebaikan
Melakukan kebaikan adalah sebuah kewajiban yang diatur oleh agama. Semua berlomba melakukannya. Semua suka dengannya, meskipun ada kepentingan diri yang dikorbankan.
Setelah melakukan kebaikan kepada orang, langsung beri titik. Selesai. Ikhlaskan. Jangan berharap kita beroleh kembali kebaikan darinya. Jika kita tidak mendapatkan, kecewa terjadi. Mengganggu kesehatan jiwa.
Penetapan cinta
Saat sudah punya pasangan -- seorang istri atau suami --, wajib kita cukupkan cinta pada lawan jenis. Jangan beri ruang dalam hati untuk mendua. Itu hanya menambah masalah.
Dengan muncul pelakor (perebut lelaki orang) atau pebinor (perebut bini orang), rumah tangga pasti hancur. Pandailah kita menghentikan nafsu untuk memiliki orang lain. Cukup satu yang singgah tetap di hati.
Tidak bisa menjawab misteri
Dalam hidup, orang terus bertanya dan mencari jawaban. Hal-hal misterius, jika ditemukan penyebabnya secara logika, kita pasti senang. Tetapi, ada hal-hal tertentu yang kita harus akui, tidak bisa menjawabnya.
Itu di luar kepikiran. Hanya Yang Maha Kuasa yang tahu. Kita cukupkan saja rasa penasaran itu. Tidak berguna. Kita hanya bisa menerima dan mengatur cara menyikapinya.
Saya masih terus belajar membubuhkan tanda titik pada akhir momen-momen di atas. Saya sadari tidak segampang itu terjadi. Tetapi, selama niat tidak pudar dan satu demi satu dilaksanakan, tidak ada yang mustahil. Seiring pertambahan umur dan kedewasaan, saya yakin, semua dapat dilakukan.
Anda pun sekiranya begitu. Kita ingin tidak sembarangan hidup. Ada keberhasilan demi keberhasilan yang dicapai pada masa depan. Jika tidak memberikan tanda titik untuk peristiwa masa lampau, sulit kita menjangkaunya. Semoga kita sehat selalu, baik jiwa maupun raga.
Sesampainya di rumah, kegagalan itu masih terbawa di pikirannya. Ia makan sedikit dan merebahkan diri. Malamnya, ia membuka buku pelajaran Matematika, yang diujiankan besok.
Ia pikir-pikir lagi, seandainya terus-terusan tenggelam dalam penyesalan, ia semakin tidak mampu belajar untuk mata ujian berikutnya. Akhirnya, ia memutuskan selesai dengan dirinya. Biarlah kegagalan hari itu terputus dan tidak terulang pada hari besok. Ia belajar lebih keras.
...
Jakarta
21 Mei 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H