Waktu sebentar lagi menunjukkan pergantian hari. Banyak orang berkerumun di alun-alun. Mereka ingin melihat pesta kembang api, tanda pergantian tahun tiba.
Seorang remaja keluar dari gereja. Ia melangkah cepat menuju sebuah toko. Seperti biasa, ia memilih satu barang untuk dijadikan kado. Kotak musik adalah langganannya.
Adalah sebuah cerita tentang saya semasa remaja. Ketika ibadah pergantian tahun di gereja, saya dan teman-teman sebaya pasti menyelenggarakan acara tukar kado.
Masing-masing diberi kebebasan membeli sesuatu, dengan batasan harga tertentu, tidak boleh habis pakai, dan dibungkus koran. Menjelang pukul 12.00 malam, secara acak, tiap-tiap remaja saling menukarkannya.
Karena saya suka bernyanyi dan mendengar musik, beberapa kali kado yang saya beli adalah kotak musik. Waktu itu harganya 20.000 Rupiah. Berbentuk miniatur piano berwarna hitam sedikit kemerah-merahan. Sangat terjangkau zaman segitu.
Entah kebetulan atau tidak, hadiah yang saya terima hasil tukar kado juga sama. Saya beberapa kali mendapatkan kotak musik. Ada satu dua masih tersimpan di rumah di kampung. Sayang, tidak saya bawa ke perantauan.
Enam tahun kemudian, Ishak Piguet memanfaatkan penemuan Favre dan memperkenalkan mekanik tersebut ke dalam perhiasan, jam tangan, kotak rokok, kotak kayu, dan logam mulia.
Pada abad ke-19, tempat pembuatan kotak musik sebagian besar terkonsentrasi di Swiss, Jenewa. Setelah 1811, tempat pembuatan kota musik lainnya didirikan di Jura Vaudois, di Auberson, dan Sainte Croix.
Cara kerja kotak musik
Rata-rata kotak musik yang pernah saya mainkan memiliki cara yang sama. Ada sebuah tuas di samping kotak yang harus diputar sebanyak mungkin searah jarum jam, tergantung berapa lama kita ingin musik terdengar.
Setelah itu kita lepaskan. Tuas itu akan berputar sendiri, perlahan menuju posisi awal. Dalam perputarannya, musik klasik terdengar. Ada pula yang cukup membuka penutup kotak, musik sekejap berbunyi.
Jika sudah cukup, tinggal menutup penutupnya. Terlebih penting dari itu, pastikan kondisi baterai kotak musik masih ada. Sekarang, ada pula kotak musik tanpa baterai dijual.
Musik sebagai penenang dan peneduh suasana
Waktu kecil, saya suka sekali mendengar alunan musik dari kotak musik. Dalam kamar, dengan lampu redup, sebagian tempelan di dinding menyala, dan musik pelan mengalun, benar-benar pengantar tidur yang selalu berhasil.
Suasana tenang saya dapatkan. Terkadang saya berimajinasi tentang sesuatu. Ada rasa nyaman saat mendengarnya. Selain itu, ketika belajar, kotak musik yang saya letakkan di atas meja belajar, saya putar waktu istirahat.
Ketika otak terlalu penuh dan tidak lagi bisa menjawab soal, musik yang terdengar dapat mendinginkannya sejenak. Agar awet, sering kali saya lap seluruh bagian kotak musiknya.
Bagaimana kabarnya sekarang?
Terakhir saya mudik ke kampung, ketika berkunjung ke pasar swalayan tempat biasa saya membeli kotak musik, masih terpajang beberapa di lemari kaca. Ragamnya semakin banyak.
Dengan begitu, menunjukkan bahwa masih ada yang menggemari kotak musik. Tidak mungkin pula pasar swalayan menjual sesuatu yang tidak ada peminatnya. Di tengah kepraktisan memutar musik di ponsel pintar dan gawai bermusik lainnya, kotak musik tetap eksis keberadaannya.
Kita lihat ke depan. Generasi Alpha dan berikutnya, saya pikir, lebih suka sesuatu yang lebih praktis. Satu benda bisa menyediakan beragam fitur, termasuk memainkan musik klasik. Untuk apa repot-repot mendengarkan musik dari kotak musik yang sesekali cukup besar dan memakan tempat itu?
Apakah jumlah penggemarnya tetap bertahan dan bahkan bertambah? Atau, mereka tergerus dan perlahan hilang? Apakah Anda juga dahulu, atau sekarang, masih punya kotak musik?
...
Jakarta
17 Mei 2021
Sang Babu Rakyat