Seorang lelaki berdiri di depan cermin besar. Ia melihat dirinya dari atas sampai bawah. Rambut telah tersisir rapi. Kemeja putih berbalut jas hitam tampil megah. Celana kain hitam pula tampak mengilat, tersorot lampu kamar.
Lelaki itu merasa ada yang kurang. Ia membuka lemari pakaian. Tangannya mengambil sesuatu. Lalu, ia membuat sebuah simpul dan mengenakannya di leher. Ia tersenyum puas.
Wahai para lelaki, pernahkah Anda merasa kurang sempurna jika menghadiri sebuah acara tanpa berdasi? Adakalanya sebuah keharusan menghendakinya. Adakalanya pula memang kebiasaan sebagian kita yang suka mengenakan dasi.
Sejarah dasi
Berdasarkan wikipedia, saya kutip sebagian:
Dasi, menurut Asosiasi Aksesori Leher Amerika, punya sejarah panjang yang melilit perkembangannya. Sejak zaman batu pun aksesori di leher dan dada sudah ada, khususnya untuk memberi ciri pada kelompok pria dari strata tinggi.
Malah, pada masa Romawi Kuno sudah dipakai kain untuk melindungi leher dan tenggorokan, khususnya oleh para juru bicara. Pada perkembangannya prajurit militer Romawi pun memakainya. Bukti dipakainya aksesori kain leher tampak pada patung batu di makam kuno, Xian, Tiongkok.
Aksesori leher terkenal lainnya muncul pada masa Shakespeare (1564 - 1616), yakni "ruff". Kerah kaku dari kain putih itu bentuknya serupa piringan besar yang melingkari leher. Untuk mempertahankan bentuk, ruff sering dikanji. Lambat laun orang merasa ruff yang bertumpuk-tumpuk hingga mencapai ketebalan beberapa sentimeter mengakibatkan iritasi.
Lahirlah "cravat" pada masa pemerintahan Louis XIV tahun 1660-an. Namun, Kroasia lebih tepat disebut sebagai tanah asal dasi. Bahkan konon kata ini berasal dari nama negara Kroasia dalam bahasa setempat Hrvatska.Â
Selengkapnya dapat dibaca di sini. Cravat inilah cikal bakal lahirnya aksesori leher modern, alias dasi.