Pagi mulai merekah. Beberapa anggota keluarga sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatu. Dalam rumah itu, telah berkumpul ayah, ibu, keempat anak, bersama para menantu. Mereka memang tinggal berdekatan. Rumah saling bersebelahan dalam satu kompleks.Â
Hari raya nan suci tiba. Seluruh anggota keluarga melaksanakan ibadah bersama. Begitu khusyuk, dengan tetesan air mata yang tiada henti mengalir. Kehangatan keluarga terjalin begitu hangat.
Lebaran adalah hari kemenangan umat Muslim, setelah melewati ujian sebulan penuh berpuasa. Hari yang dinanti dan begitu mulia. Banyak sukacita dan keharuan melimpah saat itu.
Dapat berkumpul bersama keluarga besar. Ada rasa kangen yang tersampaikan. Ada keingintahuan kabar antarkeluarga yang terjawab. Ada perbuatan bakti yang ditunaikan, melalui berkunjung ke rumah orangtua.
Belum lagi menu makanan yang sangat lezat. Opor ayam, rendang daging, ketupat lebaran, sambal goreng hati, gulai sayur, semur, dan makanan khas dan berat lain. Dilengkapi pula dengan aneka jajanan ringan seperti kue nastar, keripik bawang, stick keju, keciput, dan sebagainya.
Namun, bagi sebagian orang, Lebaran tahun ini sama dengan tahun lalu. Kendala Corona dan keinginan besar untuk mengendalikan penyebarannya, membuat orang memilih tidak mudik dahulu. Meskipun, ada juga yang tetap mudik.
Mereka memilih menjaga silaturahmi saat Lebaran secara virtual lewat gawai. Masih bisa menatap muka dan saling menangkap suka. Kendati, tidak ada sentuhan dan kehadiran nyata.
Selain dari semua di atas, Lebaran adalah momen di mana orang-orang saling memaafkan perbuatan. Saya sendiri, meskipun tidak merayakan Lebaran -- karena Nasrani, ada momen di keluarga kami, juga melakukan acara maaf memaafkan.
Tepatnya awal tahun atau tahun baru, 1 Januari tahun bersangkutan. Sama seperti Lebaran, kami keluarga besar mengatur aktivitas dan menundanya, agar dapat berkumpul lengkap di rumah orangtua. Baik yang jauh maupun dekat, sebisa mungkin hadir.
Orangtua akan berkata dahulu pesan dan nasihat pada awal acara, kemudian anak bersama menantu diberi kesempatan bercerita dan menanggapi. Setahun sudah berlalu, pasti ada satu dua hal bahkan beberapa yang mengganjal di hati. Saat itu, kami harus melepaskan dan menghilangkannya dengan saling memaafkan.
Saya pribadi memandang maaf tidak sederhana. Menurut KBBI, maaf diartikan:
- pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dan sebagainya) karena suatu kesalahan; ampun: minta --
- ungkapan permintaan ampun atau penyesalan:
- ungkapan permintaan izin untuk melakukan sesuatu:
Saya memaknai maaf atau ampun lebih mendalam daripada itu. Ada langkah demi langkah yang harus dilakukan, agar proses maaf memaafkan terlaksana baik dan sempurna.
Kesediaan mengingat masa lampau
Langkah pertama sebelum meminta atau memberi maaf adalah tiap-tiap pihak bersedia mendata kembali segala perbuatan masa lampau. Mereka harus tahu apa yang telah diperbuat, kepada siapa perbuatan itu ditujukan, atas niat apa perbuatan itu terjadi, dan lainnya, dengan lengkap seputar perbuatan.
Dengan tahu hal ini, tiap-tiap pihak akan mempelajari, apakah perbuatan itu layak dimintakan atau diberikan maaf atasnya. Harus tahu betul kronologi perkara agar jelas siapa di posisi apa.
Pengakuan diri akan kesalahan
Perbuatan itu selanjutnya diukur dengan nilai-nilai kebenaran yang dijunjung tinggi dalam keluarga, norma agama, kesopanan, dan kesusilaan. Apakah salah atau benar hasilnya, tiap-tiap pihak harus pandai mengukurnya.
Jika salah, sebaiknya mengaku, dan bila benar, dapat menjadi contoh yang baik bagi anggota keluarga lain. Kesediaan untuk mengaku diri salah bukan hal yang mudah. Â
Penyesalan bahwa itu merugikan
Setelah tahu salah, apa dampaknya ke seluruh anggota keluarga? Siapa yang dirugikan? Apakah satu dua, beberapa, atau bahkan semua, jika itu menyangkut nama baik keluarga di depan orang banyak?
Tiap-tiap pihak yang bersalah seyogianya menyesal secara mendalam atas perbuatan itu. Melalui penyesalan, mereka masih sadar bahwa perbuatan itu salah dan merugikan.
Kerendahan hati meminta maaf
Peletakan ego pribadi ada di bagian ini. Segala gengsi dan keakuan wajib direndahkan serendah-rendahnya, sehingga kata "mohon maaf" dapat terucap tulus dari bibir dan hati. Berani menyadari bahwa manusia tempatnya salah, termasuk diri pribadi.
Alangkah lebih baik lagi jika kita berinisiatif lebih dahulu meminta maaf, tanpa disuruh-suruh, bahkan sampai disindir. Kerendahan hati sedang dilatih. Maukah kita dibentuk dan diubah menjadi pribadi berkarakter baik?
Janji tidak mengulang
Maaf tidak sekadar maaf. Lebih sempurna lagi, untuk masa ke depan, tidak ada perbuatan yang sama dan sejenis terjadi. Tiap-tiap pihak sepakat untuk sebisa mungkin tidak mengulangi dan tidak saling menyakiti lagi.
Alasan bahwa kemungkinan bisa terjadi lagi karena dalil "tidak ada manusia yang sempurna", diabaikan sementara. Selama tekad untuk tidak mengulang kembali bulat dan konsisten, maka tidak mustahil bisa terjadi.
Kerelaan menghapus semua
Terakhir, ini sering diabaikan dalam proses maaf. Sering pula jika dilakukan, dengan mengungkit kembali keburukan-keburukan masa silam, yang telah sempat dimaafkan, maaf serasa menjadi sia-sia.
Ada sakit hati yang tergores lagi. Ada kepahitan yang kembali mengakar. Tiap-tiap pihak harus bersedia menyempurnakan maaf dengan perjanjian dan kerelaan hati, menghapus itu semua dan tidak mengungkitnya lagi.
Jika enam proses maaf ini dilakukan, saya yakin, kita akan menjadi pribadi yang benar-benar utuh, murni tanpa rasa salah, ibarat buku baru yang kertasnya masih bersih dan menunggu digores dengan kebaikan demi kebaikan. Dimulai lagi dari nol, ya.Â
Selamat hari raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin.
...
Jakarta
13 Mei 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H