"Selamat kepada Bapak A!" seru pembawa acara. Tidak berapa jauh darinya, terdengar derap langkah cepat. Bapak berambut putih berlari sampai tergopoh-gopoh menuju ke atas panggung. Tangannya memegang sebuah undian.
Seorang pemuda duduk lesu di sudut ruangan. Kepalanya tertunduk. Matanya memandang lekat kertas-kertas di tangannya, yang begitu banyak dengan nomor-nomor yang tidak pernah dipanggil sedari awal. Masih ada hadiah utama. Asanya hampir pupus.Â
Dari sekian banyak acara publik yang mendatangkan orang-orang, baik di lapangan maupun secara daring lewat televisi, beberapa di antaranya ditutup dengan penarikan undian atau lotre. Bisa pula disebut doorprize.Â
Ini sangat ditunggu hadirin, karena sesekali nilai undian cukup mahal, baik langsung berbentuk uang maupun benda jika dirupiahkan. Bahkan ada hadirin yang sengaja datang tidak untuk mengikuti acara, tetapi hanya karena momen itu.
Apalagi jika disponsori oleh perusahaan ternama. Hadiah utama dapat berbelas-belas, berpuluh-puluh, kadang menyentuh miliar rupiah. Siapa yang tidak ingin dan tidak suka mendapat lotre itu?
Sepanjang hidup, saya entah berapa kali telah mendatangi acara semacam itu. Banyak cara yang saya tempuh agar mendapat lotre. Memperbanyak doa. Mengambil kertas undian teman yang sudah pulang dahulu.Â
Sampai paling bersemangat menyerukan "batal" ketika yang disebut namanya tidak lekas-lekas naik ke panggung. Saya berharap undian dikocok dan ditarik kembali.Â
Saya jujur ngiler dan sangat mau memperolehnya. Jika uang, lumayan bisa menambah pemasukan untuk memenuhi keinginan membeli sesuatu. Jika barang mahal, tentu bisa dibanggakan saat pulang ke rumah.
Mama saya pun pernah bercerita seusai arisan tetangga selesai. Ia kerap mengalami apa yang saya rasakan. Namanya begitu jarang disebut ketika penarikan arisan. Bila keluar, itu pun akhir-akhir periode. Kadang mama berkisah juga, mengapa nama ibu-ibu itu saja yang sering keluar di awal periode?
Kenyataan memang begitu, bukan? Sesekali nama teman kita yang terus terpilih dalam undian. Dia sudah beberapa kali mendapatkan hadiah. Sementara kita, langka. Sudah bukan jarang lagi. Sekali dapat, hanya payung. Atau kalender. Hahaha...
Akhirnya, selesai acara, otak saya begitu kasihan melihat kekecewaan mendalam yang dialami hati saya. Mengapa pulang selalu dengan tangan kosong? Ia tidak tega. Ia berusaha memikirkan beberapa hipotesis yang ia bangun untuk menghibur hati saya. Â
Rezeki bukan dari situ
Hidup tiap-tiap orang sudah diatur rezekinya. Jika bukan dari undian, ada cara lain Yang Kuasa memberi nafkah. Yang perlu dipercayai adalah selama kita berharap terus pada-Nya, Ia akan memelihara kita.
Yang Kuasa tidak akan meninggalkan umat-Nya yang patuh dan setia menjalankan perintah-Nya. Pintu rezeki akan dibuka dari mana saja, tidak hanya lewat undian.
Dipercaya mampu mengupayakan
Kita dipandang Yang Kuasa punya kemampuan lebih untuk mencari dan mendapatkan hadiah yang diundikan itu, melalui bekerja dengan keringat sendiri. Atau, kekayaan kita cukup untuk membelinya.
Yang Kuasa ingin umat-Nya berkembang dewasa dengan mental mandiri, sebisa mungkin berjuang melalui upaya pribadi, tanpa berharap lebih dari undian yang tidak bisa ditebak itu.
Ada orang lain yang lebih membutuhkan
Lotre itu merupakan hak orang lain, yang sekiranya lebih membutuhkan. Tidak dapat dimungkiri, ada orang-orang di sekitar yang keadaannya lebih miris dari kita. Untuk makan saja susah.
Kenyataan di lapangan, saya kerap menemui orang seperti itu sering mendapat undian. Apakah memang itu telah ditakdirkan untuk menolong dan menghiburnya dari penderitaan?
Belajar mencukupkan diri
Jika lotre berupa uang, belum dapat pun, kita sudah berandai-andai ingin membeli sesuatu dibiayai darinya. Semisal, lotre bernilai sepuluh juta. Awalnya kita hendak membeli motor seharga sepuluh juta dengan uang pribadi.
Sekilas lewat khayalan, terlintas hasrat untuk membeli motor yang dua puluh juta. Sepuluh juta dari uang pribadi dan sepuluh juta dari lotre. Bila bisa dapat lebih bagus, mengapa tidak? Kenyataannya, kita dilatih mencukupkan diri dengan motor seharga sepuluh juta saja. Kita tidak dapat lotre.
Memang belum beruntung
Terakhir, percaya atau tidak, kita belum beruntung. Belum waktunya kita mendapat undian. Mungkin bisa dicoba saat lain hari. Jika lain hari belum dapat, masih ada hari-hari lainnya lagi. Segala sesuatu indah pada waktunya.
Meskipun hanya pemikiran sederhana, kelima pendapat itu mampu perlahan menghapus kekecewaan hati saya. Ia mulai rela dan sedikit demi sedikit menerima kenyataan. Akhirnya, ia dapat bergembira dengan tidak terlalu berharap dari undian.
Semoga pemikiran otak saya bermanfaat bagi Anda. Kalau memang kita langka mendapat undian, jangan menyalahkan siapa-siapa. Memang itulah keadaannya. Disyukuri saja.
"Semua sudah siap?" tanya pembawa acara. Seluruh sudut ruangan penuh sorakan. Hawa udara semakin panas. Beberapa orang terlihat berdiri, berdesakan ke depan, menggebu-gebu, ingin mendapat hadiah.
Pemuda itu mendongakkan kepala. Ia memasang telinga tajam-tajam. Matanya fokus pada sesuatu yang baru saja ditarik pembawa acara dari dalam kotak undian. "Selamat kepada Ibu B!" kata pembawa acara. Pemuda itu kembali tertunduk. Ia menyobek-nyobek tumpukan kertas di tangannya.
...
Jakarta
7 Mei 2021
Sang Babu Rakyat