Media sosial terutama Facebook akhir-akhir ini membuat saya sedih. Menjelang berakhirnya bulan puasa dan menyambut datangnya Lebaran sebentar lagi, ia mengagihkan foto-foto masa lampau. Begitu berhasil membuat saya berhenti sejenak dari aktivitas dan tersenyum sendiri mengingat kenangan-kenangan itu.
Lebaran tahun ini sama dengan tahun lalu, berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Corona masih membayangi, bahkan tekanannya belum reda, tetapi sebagian orang seperti menganggap sudah tidak ada.
Meskipun Lebaran adalah hari besar teman Muslim, saya sebagai seorang Nasrani ikut merasakannya. Momen di mana semua saling bertemu, meminta maaf atas perbuatan yang melukai hati, lalu bercanda tawa dengan lepas tanpa mengingat salah. Masing-masing mulai dari nol lagi. Demikian kata iklan dahulu.
Waktu berliburnya pun panjang. Minimal hampir seminggu, terdiri dari hari Lebaran itu sendiri, diapit cuti bersama barang dua tiga hari, dan libur kerja seperti Sabtu Minggu. Saya, jika tidak karena Corona, pasti pulang kampung. Kisah unik perjalanan saya menggunakan bus dari ibu kota ke kampung, Kabupaten Jepara, dapat dibaca di tautan berikut.
Selama di kampung, banyak aktivitas saya jalani. Begitu hangat persaudaraan terjalin. Begitu erat hubungan terjaga. Begitu asyik dalam berbagi indahnya cerita. Itulah yang Facebook ulas kembali lewat ingatan saya.
Buka bersama
Satu dua hari mendekati Lebaran, salah satu teman di kampung pasti merelakan dirinya menjadi panitia buka bersama. Undangan secara daring disebarluaskan. Semua alumni SMA diundang. Agar pelaksanaan lancar, tiap-tiap alumnus diminta iuran. Bagi yang tidak sempat bayar, bisa melunasi di hari H. Kehadiran tentu lebih utama.
Biasanya, kami berkumpul di sebuah restoran. Yang pulang kampung mengusahakan datang. Masing-masing membawa keluarganya. Sebagian harus kuat mental.Â
Ada yang sudah berkeluarga menggoda yang masih jomlo, "Kapan kamu kawin?" Yang sudah punya anak menggoda suami istri yang masih berdua saja, "Kapan punya anak, nanti keburu tua lho."Â
Yang sudah memiliki anak banyak menggoda yang baru memiliki anak satu, "Kapan tambah adik?" Begitulah, cengkerama penuh kelakar yang menghiasi selama acara. Sungguh dirindukan.
Halalbihalal
Satu dua hari setelah buka bersama, dilanjut dengan halalbihalal. Ini biasanya pada hari kedua Lebaran, seusai teman-teman SMA berlebaran dengan keluarga inti masing-masing.
Terkadang di restoran, lebih sering di salah satu rumah teman. Seperti momen Lebaran kebanyakan, kami saling salam-salaman, memaafkan kenakalan zaman dahulu, mengulik peristiwa pahit yang diceritakan dengan tawa karena dendam telah tiada. Cinta-cinta monyet semasa SMA tidak lepas sebagai bahan gurauan.
Bermain ke sekolah
Ini tidak mungkin ditinggalkan. Kami akan bermotor-motoran, saling tunggu-tungguan, seperti pawai di tengah jalan, menuju ke SMA. Di sana, sebagian teman melihat kelas masing-masing. Pasti terkagum dengan banyak perubahan dan kemajuan yang terjadi.
Ada yang mengingat pernah buat mading (majalah dinding). Ada yang membahas kantin, tempat pacaran dahulu. Ada yang pergi ke aula, lokasi kegiatan ekstrakurikuler diadakan. Semua bernostalgia dengan SMA. Kenangan itu begitu indah.
Rangkaian acara Lebaran bersama teman SMA ditutup dengan silaturahmi ke rumah guru. Bisa beberapa kami kunjungi. Dari guru yang killer sampai yang baik hati, kami datangi.
Atas peristiwa-peristiwa tegas di kelas, semua sudah kami lupakan. Tidak ada bekas yang kami simpan di hati. Kami juga ingin tahu kabar orangtua kedua kami ini. Selain itu lumayan, menikmati sajian kue-kue kering khas Lebaran. Hehehe...
Terima kasih, Facebook, telah mengulas kenangan saya. Terima kasih pula, Kompasiana, sudah mengizinkan saya menulis kembali ingatan itu. Saya begitu senang, juga begitu sedih. Semoga kenangan itu terulang tahun depan. Semoga pula Corona cepat berlalu.
Mengobati kenangan
Mungkin kisah saya hampir sama dengan Anda. Kita tidak bisa berkumpul leluasa tahun ini. Tetapi, sebagai wujud kehangatan perhatian, bisa kita gunakan alternatif parcel Lebaran. Dapat kita kirimkan ke orang-orang yang kita sayangi.
Bentuknya beragam. Ada yang berisi kue kering, makanan kaleng, mi instan, sirup, kecap, sambal, dan lainnya, yang terserah kita, berdasarkan selera masing-masing dan kondisi keuangan di dompet.
Tentu, bukan dari nominal harga barang kita melihat makna. Tetapi, bentuk kasih sayang yang masih terjaga, terbukti dengan kiriman parcel itulah yang lebih penting.Â
Kita masih ingat guru-guru yang berjasa mendidik kita. Kita masih ingat teman-teman sepermainan dahulu. Kita masih ingat pula saudara-saudara jauh di kampung.
Ada tali persaudaraan yang tidak terputus, bahkan semakin erat. Ada silaturahmi yang tidak lekang oleh jarak. Ada pula pelaksanaan protokol kesehatan yang secara langsung diterapkan, dengan untuk sementara menjauhi kerumunan, lewat tidak hadir dalam pertemuan. Silaturahmi daring bisa menjadi alternatif.
Demikianlah cerita saya, keindahan kenangan seorang Nasrani di bulan Ramadan. Semoga, teman-teman Muslim dapat menjalankan ibadah puasa sampai selesai. Sehat selalu.
...
Jakarta
7 Mei 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H