Di Kompasiana, ada dua kanal yang saya tidak bisa dan tidak suka menulisnya. Pertama, politik. Politik itu lebih memikat jika pembahasannya menyebut nama orang dan partai. Apalagi tokoh politik yang sedang ramai diperbincangkan. Itu jumlah pembacanya bisa selangit.
Meskipun saya tergiur dengan besaran K-Rewards yang berpotensi banyak didapat, tetap saja saya selalu mengurungkan niat untuk menulisnya. Pesan ibu, hati-hati jika mengulas tentang seseorang. Jika salah-salah dan orang itu tersinggung, kita bisa dituntut pencemaran nama baik. Demikianlah, saya tidak menyentuh kanal politik sama sekali.
Kedua adalah bola. Ini kehendak pribadi. Saya tidak punya pengetahuan tentang bola. Berapa jumlah kesebelasan di Indonesia, saya tidak tahu. Ketika piala dunia digelar, saya pun tidak tertarik. Intinya, tidak ada yang mampu menggerakkan saya untuk sedikit saja melirik soal bola.
Pergaulan dengan teman
Saat ini, ketika bermain ke rumah teman, di sana tersedia PS4 dan permainan yang acap kali dimainkan adalah sepak bola. Teman-teman saya akan berkumpul, bahkan dari jauh, untuk bermain bola bersama. Ada canda tawa di sana ketika saling mengejek tentang kebodohan masing-masing. Saya ikut tertawa dan memang menghibur.
Berkali-kali salah seorang teman mengajak saya untuk bermain. Saya menolaknya dengan senyuman. Ingin ia mengajarkan cara bermain -- jika saya tidak tahu -- tetapi tetap, saya tidak menggubris. Kalau saya ikut menonton mereka bermain, semata-mata karena bentuk kebersamaan saya sebagai seorang teman.
Saya lebih memilih menghabiskan waktu menikmati buku. Jika bosan, saya membaca berita di portal daring. Jika ada inspirasi, saya menuliskannya di Kompasiana. Hobi yang begitu saya gemari.
Luka masa kecil
Waktu kecil, saya pernah diajak bermain sepak bola oleh teman SD. Kami bergegas ke lapangan bola dekat rumah sore itu dan saya terpilih sebagai pemain belakang. Dengan polos saja, saya mengiyakan posisi itu.
Selama bermain, saya tidak pandai menggiring bola. Saya dalam posisi menunggu. Bila bola datang, saya usahakan menggocek lawan dan jika terdesak, saya umpankan bola ke penjaga gawang.
Nahasnya, ada seorang teman -- saat itu sebagai penyerang -- merasa sepanjang permainan tidak pernah mendapat umpan dari saya. Seusai bermain, ia mendatangi saya. Ia memarahi saya. Ia mengajak bertengkar. Suara bentakannya kencang sekali.
Karena saya orangnya tidak tegaan, saya menangis begitu saja. Saya tidak membalasnya. Saat itu umur enam tahun. Habis-habisan ia mengejek saya. Jika tidak ada teman yang melerai, mungkin saya sudah ditonjoknya.
Berlangsung hari, sejak saat itu hingga sekarang, saya selalu menolak jika ada yang mengajak bermain sepak bola. Saya lebih memilih berolahraga tangan, seperti bulutangkis, tenis lapangan, dan tenis meja.
Bola adalah tolok ukur kelaki-lakian?
Apakah dengan tidak bermain sepak bola saya bukan seorang laki-laki? Sejak kapan pula, tolok ukur kelaki-lakian ternilai dari kesukaannya bermain sepak bola? Memang, kenyataan di lapangan, sebagian besar lelaki yang pernah saya temui suka sepak bola.
Pertanyaan ini sama dengan perilaku merokok. Apakah dengan tidak merokok saya dianggap tidak jantan? Kurang laki-laki begitu? Tidak juga. Tidak ada pula kewajiban seorang lelaki harus suka sepak bola dan pandai merokok.
Akhirnya...
Semua pribadi berhak menentukan kesukaan masing-masing. Kita wajib menghargai dan tidak merecoknya selama itu tidak mengganggu. Bagi yang suka bola, silakan bermain bola, menjadi komentator, bahkan kalau bisa sebagai pelatih.
Bagi yang tidak suka, silakan pula menekuni hobi masing-masing. Yang penting semua bahagia dengan ketertarikannya. Bagi teman-teman pembaca yang juga tidak suka sepak bola, kita sama. Anda tidak sendirian.
...
Jakarta
6 Mei 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H