Karena saya orangnya tidak tegaan, saya menangis begitu saja. Saya tidak membalasnya. Saat itu umur enam tahun. Habis-habisan ia mengejek saya. Jika tidak ada teman yang melerai, mungkin saya sudah ditonjoknya.
Berlangsung hari, sejak saat itu hingga sekarang, saya selalu menolak jika ada yang mengajak bermain sepak bola. Saya lebih memilih berolahraga tangan, seperti bulutangkis, tenis lapangan, dan tenis meja.
Bola adalah tolok ukur kelaki-lakian?
Apakah dengan tidak bermain sepak bola saya bukan seorang laki-laki? Sejak kapan pula, tolok ukur kelaki-lakian ternilai dari kesukaannya bermain sepak bola? Memang, kenyataan di lapangan, sebagian besar lelaki yang pernah saya temui suka sepak bola.
Pertanyaan ini sama dengan perilaku merokok. Apakah dengan tidak merokok saya dianggap tidak jantan? Kurang laki-laki begitu? Tidak juga. Tidak ada pula kewajiban seorang lelaki harus suka sepak bola dan pandai merokok.
Akhirnya...
Semua pribadi berhak menentukan kesukaan masing-masing. Kita wajib menghargai dan tidak merecoknya selama itu tidak mengganggu. Bagi yang suka bola, silakan bermain bola, menjadi komentator, bahkan kalau bisa sebagai pelatih.
Bagi yang tidak suka, silakan pula menekuni hobi masing-masing. Yang penting semua bahagia dengan ketertarikannya. Bagi teman-teman pembaca yang juga tidak suka sepak bola, kita sama. Anda tidak sendirian.
...
Jakarta
6 Mei 2021