Apalagi ingatan manusia akan orang lain lebih gampang merekam yang buruk daripada yang baik. Seperti peribahasa: Gajah di pelupuk mata tidak tampak, semut di seberang lautan tampak.
Saya berpikir jauh tentang nama baik. Tidak hanya saya yang terganggu jika nama saya didapati buruk, melalui perilaku dan ucapan yang tidak sebagaimana mestinya. Melainkan ada juga nama keluarga, almamater, instansi tempat bekerja, dan teman yang kenal. Saya tidak mau membuat mereka malu.
Maka dari itu, baik dunia nyata maupun media sosial, saya adalah sama. Orang yang berusaha sebisa mungkin mengurangi melukai hati orang dan memberikan manfaat lewat sumbangsih pemikiran dalam dunia literasi.
Selain berinteraksi sosial, facebook, instagram, dan WA, saya gunakan untuk membagi tulisan saya di Kompasiana. Mana tahu, pembaca beroleh pencerahan setelah membacanya.
Saya pun suka menulis dengan tata bahasa yang baku, sebagai bukti betapa saya cinta dengan bahasa Indonesia. Semua dapat dilihat dari unggahan pada setiap akun saya.
Wasana kata
Sehebat apa pun pengguna dalam bermedia sosial, baik sopan santun lewat tutur, pembagian akan kepandaian pikir, sudut pandang bijak dari berbagai sisi, maupun kegantengan atau kecantikan wajah, itu semua tidak penuh mencerminkannya di dunia nyata.
Begitu juga setiap keburukan yang ditampilkan. Mungkin karena momen tertentu, pengguna tidak mampu mengendalikan diri, sehingga terjadi unggahan yang tidak pantas. Pasti, ada sisi baik darinya.
Yang bisa membuktikan hanyalah dengan memutuskan berteman dekat dengannya di dunia nyata. Secara langsung, tanpa polesan, akan terasa dan terlihat, bagaimana sifat asli si pengguna.
Akhirnya, media sosial merupakan tanggung jawab pengguna. Dibuat baik, pengguna berjasa memberi manfaat. Dibuat buruk, pengguna ternilai buruk oleh sesama pengguna. Tinggal pilih, suka menambah teman atau mencari musuh dalam dunia maya.
...