Di sebuah ruang tengah, satu keluarga besar telah kumpul. Kelima cucu bertemu setahun sekali di rumah kakek. Mereka membiasakan diri, setidaknya saat hari raya, mengunjungi kakek dan nenek di desa.
Masing-masing sudah duduk mengelilingi meja bundar. Tepat di antara mereka, seorang lelaki berjanggut panjang dan berambut putih mulai bicara. Ia berujar, "Cu, kalian masih ingat, dahulu kakek buyut kalian baik sekali lho. Beliau ...." Sebagian cucu bersemangat mendengarkan. Sebagian lagi menguap seperti kebosanan.Â
Apa percakapan yang lazim terjadi ketika keluarga besar berkumpul? Jika anak masih jomlo, biasanya harus kuat mental, karena pertanyaan tentang mana calon pasangan akan datang bertubi-tubi.
Bagi pasangan suami istri yang baru menikah, akan disinggung kapan punya anak. Orangtua dan kakek neneknya sudah tidak sabar ingin menimang cucu dan cicit. Untuk yang telah punya anak, ditanya lagi, kapan nambah adik.Â
Selain itu, dalam pertemuan keluarga, juga penuh pertanyaan seputar kesehatan tiap-tiap anggota. Karena lama tidak bertemu, semua ingin mengetahui kabar masing-masing. Akhirnya, ditutup oleh wejangan orangtua, agar anak selamat sentosa dunia akhirat.
Kebiasaan berkumpul bersama sering dilakukan waktu hari raya. Mengunjungi sanak saudara dan kerabat, bertamu ke rumah kakek nenek, telah menjadi budaya yang tidak terelakkan pasti berlangsung.
Ada kebahagiaan di sana. Ada panjang umur sebab melaksanakan silaturahmi. Ada rasa rindu yang terpuaskan. Ada keingintahuan kabar yang terjawab. Ada hati dan pikiran dag dig dug ser, mencari tanggapan jika pertanyaan yang mungkin tidak diinginkan seperti di atas muncul.
Ada pula rasa bosan timbul. Bagaimana cerita? Tentu muncul. Saat para tetua berkisah, apalagi beliau-beliau sudah sepuh, tentang cerita yang berulang. Selalu terdengar setiap berjumpa dengannya.
Para muda (anak dan cucu) sudah hafal, bagaimana pembukanya, nasib tokoh yang diulas, pesan-pesan yang tersurat, sampai nanti berakhir pada satu dua para muda, karena silsilah keluarga.
Seperti ilustrasi, kakek berujar tentang orangtuanya pada para cucu. Sebelum beliau menuntaskan cerita, satu dua cucu terserang kebosanan. Tidak ada hal baru yang didengar. Seperti rekaman kaset lama yang diputar.
Biasanya pula, kakek begitu bersemangat mengulas sejarah-sejarah hidupnya, yang para muda tahu benar karena berkali-kali dengar. Sementara itu, sebagian para muda berjuang melawan kantuk sebab cerita yang tidak menarik itu.
Ingin menghentikan cerita kakek, cucu tidak berani. Takut tidak sopan dan tidak menghargai orangtua. Ingin pergi meninggalkan, lebih takut lagi durhaka. Tetapi, memaksa telinga mendengarkan juga jenuh, karena itu-itu saja yang diceritakan.
Berikut adalah kiat-kiat bagi para muda, untuk bisa bertahan mendengarkan kisah para tetua sampai selesai.
Cari posisi nyaman
Karena kekeluargaan, tentu suasananya santai dan ada kebebasan. Para muda bisa mengatur posisi duduknya senyaman mungkin. Mencari kursi malas, duduk di kursi goyang, atau kursi yang ada busanya baik di alas pantat maupun sandaran kepala.
Ini menambah kebahagiaan ketika menyimak. Mengimbangi suntuknya cerita. Sedikit banyak dapat membuat bertahan dalam mendengarkan. Bandingkan dengan duduk kaku pada kursi kayu polos yang tegak lurus sembilan puluh derajat.
Sediakan makanan dan minuman
Para muda bisa mengambil kudapan dan sisa makanan besar yang bisa digado, sebagai teman saat mendengarkan. Bentuk makanan yang menarik, rasanya yang lezat, dapat mengurangi kebosanan.
Minuman dingin yang menyegarkan juga bisa menjadi alternatif. Atau, sekalian panas seperti teh dan kopi panas. Begitu ampuh untuk memelekkan mata yang terkantuk.
Bertanyalah hal tidak biasa
Pada sela cerita, para muda boleh bertanya tentang kisah yang belum pernah diceritakan. Semisal, ketika kakek buyut diceritakan setiap hari suka ke pasar, membeli singkong, dan memasak kolak sesampainya di rumah.Â
Mungkin bisa disela dengan keingintahuan, bersama siapa beliau pergi? Mengapa beliau suka sekali dengan kolak? Apa saja isi resep kolaknya? Setelah mendengar hal baru, tentu pikiran lebih segar. Jangan jadi pendengar pasif.
Ingat kebaikannya
Apa jasa para tetua dalam hidup para muda? Seberapa besar pengorbanan mereka membesarkan para muda? Apakah mereka juga tidak bosan ketika mendengar ucapan para muda yang juga itu-itu saja, bahkan tidak jelas karena baru belajar bicara semasa balita?
Mereka begitu sabar dan telah menyerahkan segalanya untuk kehidupan para muda. Dengan sadar benar akan hal ini, keikhlasan memberi waktu untuk mendengar, meskipun bosan, terjadi begitu saja.
Esok para muda sepertinya
Esok, entah berapa tahun lagi, para muda juga menjadi tua. Memiliki anak dan cucu seperti mereka. Ingin pula setiap perkataan didengarkan dan lebih jauh dipatuhi, bila berbentuk nasihat.
Jika para muda ingin hal itu terjadi, seyogianya melakukan terlebih dahulu, dengan setia mendengarkan cerita para tetua. Anggap saja investasi, yang suatu saat akan dipetik buahnya dari anak dan cucu para muda.
Apa pun itu, memberi waktu untuk mendengar cerita para tetua bukanlah hal sia-sia. Selain para muda bisa memetik hikmah, itu juga bentuk pengabdian dan penghormatan. Para muda telah terhitung sebagai anak yang berbakti.
Sebaiknya tidak bermain gawai saat itu. Pandang wajah para tetua dengan sopan. Tampilkan antusias yang mungkin terpaksa dibuat-buat. Dan terapkan taktik di atas untuk mengusir kebosanan.
Semoga, para muda berhasil mendengar cerita yang sesekali menjenuhkan itu sampai selesai. Ditangkap pula sudah menghargai oleh para tetua.
...
Jakarta
4 Mei 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H