Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam Sejahtera bagi kita semua, Shalom, Om Swastyastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan.
Bila lebih santai, bisa salam waktu, seperti selamat pagi, selamat siang, dan selamat malam. Lalu, dilanjutkan dengan sedikit senyuman dan jabat tangan. Sekarang, gara-gara Corona, menjadi sentuh siku dan menyatukan kedua telapak tangan di dada. Ada juga yang sedikit merendahkan posisi kepala.
Salam sudah melekat pada masyarakat kita yang terkenal ramah. Telah diajarkan sejak kecil oleh orangtua di rumah, ketika berangkat atau pulang sekolah. Diperdalam di sekolah, bersama guru di kelas. Dibiasakan sebagai budaya ketika bekerja di kantor.Â
Namun, tidak semua tergerak dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Ada yang sudah sibuk dengan gawai masing-masing di tangan. Melangkah begitu saja di tepi jalan dengan tenang, tanpa menyadari siapa yang ada di sekitarnya. Mungkin ada pula yang merasa tidak penting memberi salam.Â
"Dia kan di bawah saya umurnya, harusnya dia dong yang memberi salam pertama kali?"Â
Mungkin itu salah satu alasan mengapa orang lebih tua jarang memulai duluan dalam memberi salam. Sementara anak muda takut kualat dan dianggap tidak menghormati jika tidak memberi salam.
Apa pun itu, memberi salam adalah budaya baik yang wajib dilestarikan, ketika berinteraksi dengan sesama. Banyak manfaatnya:Â
Keberadaan kita diakui
Anda senang ketika diberi salam? Saya jujur suka. Ketika ada orang menyapa saya, berarti keberadaan saya sebagai manusia di dekatnya diakui. Saya tidak dianggap orang asing. Saya pun bukan angin lalu yang tidak bernyawa. Apalagi patung yang tidak bisa bicara.
Dalam grup WA keluarga, kami membiasakan memberi salam kepada seluruh anggota keluarga. Disebutkan nama satu demi satu, beserta doa semoga sehat selalu. Alangkah mengerikan apabila kita hadir tetapi terasa tidak dianggap ada.