"Wajah Bapak begitu tertekan. Tidak ada senyuman. Keningnya berkerut tegang. Sebelum ia meninggal, ia bertanya pada saya, mengapa kalian-kalian ini, yang sudah dibantunya, yang telah diberikan waktu olehnya, bisa-bisanya melupakan janji begitu saja?"
"Maksudnya apa, Bu?" teriak seorang warga.
"Kalian tidak berbuat baik kepada sesama. Padahal, ketika merengek-rengek membeli waktu, kalian berjanji begitu sungguh. Selama sepuluh tahun, bapak menjual waktu dengan begitu setia tetapi dibalas begitu hampa oleh kalian. Mengapa mau enaknya saja, mau diperlakukan baik, mau ditolong, tetapi tidak mau menolong orang? Bapak penjual waktu mati memikirkan itu."Â
"Betapa kalian para orang kota, begitu egois dan tidak mau membantu tetangga. Apakah kalian begitu sibuk dengan urusan pribadi, sehingga tidak sempat menolong gelandangan-gelandangan itu? Itu juga warga kalian. Mengapa bisa kalian biarkan mereka kedinginan di jalan?"
"Sekarang, Bapak sudah hidup. Bapak hidup, dalam diri kalian!"
Wanita tua itu menghentikan ucapan. Para warga tertunduk. Mulut saya terkunci rapat.
...
Jakarta
18 April 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H