Tidak ada kendala selama penguburan. Jenazah dalam peti telah masuk liang lahat. Saya belum sempat melihat wajah bapak itu. Kami datang terlambat ke balai. Peti sudah ditutup.
Beberapa ibu masih bertangisan. Satu dua terisak-isak begitu kencang. Tisu-tisu berhamburan di tanah. Siang itu berubah menjadi malam. Awan gelap semakin banyak berkumpul, tepat di atas pekuburan. Begitu hitam, begitu kelam. Apakah ini pertanda kejahatan akan berkuasa setelah orang baik pergi? Seorang ibu berambut putih mengambil pengeras suara.Â
"Bapak, Ibu, Saudara yang saya hormati." Dia berbicara. Dia berusaha tenang. Saya lihat dadanya masih kembang kempis, seolah-olah menahan kesedihan yang begitu dalam.
"Izinkan saya berbicara atas nama Bapak Penjual Waktu," lanjutnya.
Semua warga terdiam. Beberapa penasaran, ingin tahu dia berkata apa. Dia memang tetangga tepat sebelah rumah bapak penjual waktu. Saya dengar, ketika bapak itu menutup pintu rumah untuk warga yang ingin membeli waktu, dia satu-satunya yang diperbolehkan masuk.
"Saya pembeli waktu terakhir dari bapak." Ibu tua itu berdiri. Tangannya terangkat ke atas, seperti berpidato. Dia tepat menghadap kuburan bapak penjual waktu.
"Apakah Bapak ibu di sini merasa kehilangan?"
"Iyaaaaa... " Warga menjawab serempak.
"Apakah Bapak Ibu begitu memerlukannya?"
"Pasti. Dia orang baik di sini. Kami sungguh tertolong," sahut seorang bapak.
"Tenang. Bapak Penjual Waktu bisa hidup kembali."