Saya mengajak tiga ibu itu pergi bersama. Tidak berapa lama, kami tiba di balai. Sebuah peti berwarna cokelat tua terpajang di atas meja panjang tepat di bagian tengah balai. Sebagian ibu menangis tidak keruan. Ada ratapan kehilangan. Ada dukacita kematian.
"Pak... Pak... mengapa Bapak cepat sekali tiada? Saya belum sempat berterima kasih. Entah, kalau tidak ada Bapak, anak saya mungkin sudah mati." Seorang ibu meraba-raba peti. Ia menciumi tutupnya berkali-kali sambil menangis. Air matanya membanjiri lantai. Ada seseorang memberikan tisu padanya.
Saya tahu ibu itu. Saya dengar, dia membeli waktu untuk menunda kecelakaan anaknya. Bapak penjual waktu memberi sehari baginya. Anak itu diperingatkan ibu itu untuk tidak naik motor. Akhirnya, anak itu selamat.
Seorang ibu menggoyang-goyangkan peti. Peti itu bergeser sedikit melewati tepi meja. Seorang pemuda dengan cepat menyangganya.
"Pak... Pak... jangan mati! Saya masih butuh Bapak. Tolonglah, Pak. Hidup sebentar saja. Tolong saya!"
Ibu itu pun saya tahu. Dia beberapa kali membeli waktu dari si bapak untuk menunda kematian ibunya. Ibu dari ibu itu sering sesak napas, terkena asma akut dan serangan jantung. Setiap kumat, ibu itu selalu mendatangi bapak penjual waktu.
Masih ada lagi yang merengek-rengek. Dan saya pun tahu semua kisah mereka. Apa sih yang tidak diketahui oleh para ibu seperti kami? Apalagi tetangga saya paling pandai bercerita.
Saya tiba-tiba ingat kebaikan mendiang. Seandainya tidak ada dia, mungkin anak saya tidak bisa ikut ujian Matematika. Sekejap pipi saya basah. Kenangan akan waktu yang berharga dan dengan begitu mudah diberi olehnya itu, menghangatkan dada saya. Perasaan haru bergemuruh.
"Baiklah, Bapak Ibu, Saudara-Saudara sekalian. Berhubung Bapak penjual waktu hidup sebatang kara dan tidak ada saudaranya, mari kita bersama-sama mengantarkannya ke peristirahatan terakhir. Nanti sudah disiapkan lima bus. Saudara dapat memilih mana yang masih lowong," pesan kepala warga.
Hampir setiap warga sekota dibantu olehnya. Semua pedagang di pasar pernah mengalami kebaikannya. Jalan menuju pekuburan penuh sesak dengan bus-bus besar, beberapa mobil, dan banyak sekali motor.Â
Langit siang itu berubah mendung. Matahari menyingkir. Gumpalan awan pekat, entah dari mana datangnya, mengiringi pengantaran jenazah. Satu dua titik air hujan perlahan jatuh. Semesta seperti bersusah hati, kehilangan orang baik.