Sering menulis dan membaca cerpen, pasti kosakata kita bertambah. Seperti kata "menjelaskan", bisa kita pilih kata lain yang hampir sama maknanya, semisal menggambarkan, menerangkan, memaparkan, membabarkan, menguraikan, dan lainnya.
Kata-kata baku tersebut dengan sendirinya terekam dalam otak. Saya jadi tidak menemui kesulitan ketika menulis nota dinas resmi di kantor. Tanda baca pun, karena saya membiasakan jeli menyunting setelah menulis cerpen, sebagian besar tepat di nota tersebut.
Terlatih berpikir kritis
Ketika mengarang cerpen, saya terbiasa menjawab enam pertanyaan seputar isi cerpen. Apa, di mana, mengapa, kapan, bagaimana, dan siapa. Bahasa Inggrisnya, 5W1H. Sudah saya tuliskan tersendiri itu dalam artikel Memperdalam Konflik Cerpen dengan "5W1H".
Saya melatih otak berpikir kritis. Menemukan jawaban-jawaban masuk akal atas pertanyaan yang terlintas. Di kantor, saya tertolong. Mudah menganalisis berita. Terbantu memecahkan masalah yang diberikan atasan. Otak saya seperti teratur begitu saja. Tidak mudah membuat kesimpulan sebelum keenam pertanyaan itu terjawab.
Mengasah simpati dan empati
Di cerpen, saya bisa menjadi siapa saja dengan perasaan apa saja. Bisa jahat, bisa pula baik. Bisa senang, bisa pula sedih. Bisa menjadi orang yang dikagumi, bisa pula menjadi berandalan.
Saya mencoba menempatkan diri pada semua tokoh. Mencoba mengerti perasaan perempuan dan menguraikan mengapa laki-laki sulit mengutarakan perasaan. Mengapa mereka hanya berkutat dan mengutamakan logika?
Tentu, itu dari hasil membaca. Di kantor, saya jadi mengerti, bagaimana menjaga perasaan perempuan, mengatur tingkat candaan, memperlakukan orang yang kesusahan, berpikir dan berkata sehati-hati mungkin agar tidak melukai orang, dan lainnya, yang semua itu pernah saya tuliskan dalam cerpen.
Terkenal dan disegani
Terakhir, ini efek bonus. Teman sekantor telah mengenal saya sebagai seorang cerpenis. Banyak yang kagum atas produktivitas saya menulis. Banyak yang heran mengapa saya rajin menulis. Selain itu, ada yang membeli buku saya.