Penulis adalah pembaca pertama artikelnya. Mengapa? Karena sebelum yakin bahwa pembaca beroleh manfaat, kita harus merasakan lebih dahulu. Selain itu, sebagai proses menyunting, seperti memperbaiki ejaan, salah ketik, ketepatan tanda baca, dan lainnya.
Selama membaca, kita juga menilai kemampuan menulis kita. Berapa pertanyaan yang bisa dijawab? Bila kemarin hanya "apa", sekarang bisa "apa" dan "mengapa", berarti ada kemajuan. Atau, bila kemarin menyertakan satu penyebab untuk jawab "mengapa", sekarang dapat mengagihkan tiga penyebab, itu juga kemajuan. Tentu, semua dalam koridor masuk akal.
Bila kita berpikir itu-itu saja, tanpa berkreasi: memperbanyak kosakata, mengubah gaya menulis, mengayakan sumber data, menganalisis berbagai sudut pandang, dan lainnya, pastilah kebosanan cepat melanda.Â
Pikiran kita sudah terlatih untuk menyukai hal-hal baru. Pemikiran unik yang belum pernah ada. Kita juga suka bila lebih banyak pertanyaan yang mampu otak kita jawab, bukan? Secara tidak langsung, kita seorang penemu.
Di Kompasiana, penulis bermutu gampang ditemukan. Bercentang biru pertanda mutunya tidak diragukan. Ada juga centang hijau yang tidak kalah mutunya. Tidak bercentang, pun demikian. Mereka bertiga selalu ada menghiasi jajaran Artikel Utama.
Nah, bila sudah diketahui bermutu, maka mempertahankan kualitas artikel seyogianya dilakukan. Kita tidak ingin dipandang turun mutu, bukan? Apalagi berubah warna, dari centang biru ke hijau. Rasa-rasanya sebagian besar Kompasianer tidak menghendakinya.
Mutu tulisan yang apik juga menarik banyak pembaca, dan bagi Kompasianer, sekaligus menebalkan dompet melalui penambahan K-Rewards.
Menghargai Pengorbanan Pembaca
Ada penulis, tentu ada pembaca. Selama membaca, pembaca sudah berkorban pulsa paket internet dan waktu. Itu semua bila diuangkan, apalagi untuk pembaca kelas fanatik, betapa fantastis.