Sudah berulang kali, tidak terhitung banyaknya, saya menyaksikan peristiwa itu. Berulang kali pula saya tidak kuat menahan benteng pertahanan, selalu jebol, dan luapan sungai yang mengalir di antara kedua pipi jatuh menderas begitu saja, sampai sebagian meter kubik air membasahi baju saya dan sisanya terus menetes membanjiri lantai tanpa bisa dibendung.
Bersama itu pula sebuah gelora perasaan yang menggebu-gebu melingkupi dada saya, membuat badan begitu hangat tersengat pesona cinta yang begitu besar, yang pernah ada di dunia dan sebentar lagi berkurang lenyap karena perpisahan.
Siapa yang bisa menandingi betapa besar cinta ibu pada anaknya? Siapa yang sanggup menghitung berapa mahal pengorbanan ibu membesarkan anaknya? Siapa yang mampu menggantikan dan mengartikan betapa dahsyat cinta dalam untaian air mata yang terus menetes itu? Saya kira setelah cinta Tuhan, tidak ada lagi yang dapat mengalahkan cinta ibu itu.
"Sudah siap semua?" tanya saya kepada salah seorang petugas. Dia masih merapikan sepasang meja dan kursi mempelai, yang terbalut kain putih begitu bersih tanpa noda, sesekali mengilap tersorot lampu di depan mimbar gereja.Â
Buket-buket bunga mawar hidup nan segar dirangkai begitu apik dan indah, dilekatkan dengan pita merah pada setiap tepi kursi jemaat yang mengapit lorong di depan pintu masuk.
Hamparan karpet merah berbulu tergelar megah. Parfum beraroma kopi, sesuai permintaan mempelai, disemprot di seluruh ruangan. Beberapa jemaat sudah duduk rapi. Satu dua anak berlarian di halaman.
"Tenang, mereka masih di perjalanan. Sebentar lagi selesai," jawabnya.
Saya kali ini kebagian tugas sebagai tukang foto. Saya sudah cukup lelah bermain organ terus dan ingin sesekali menyegarkan diri dengan pelayanan lain, supaya bosan itu hilang. Sebuah kamera hitam cukup besar menggantung di leher saya.
Di luar, langit begitu kondusif, begitu bersih. Tidak banyak gumpalan awan menumpuk. Hanya beberapa tepat mengumpul di depan sang surya, menghalangi cahayanya jatuh langsung ke bumi, sehingga membuat siang itu terasa seperti sore yang sejuk, tenang, tanpa gangguan apa-apa. Apalagi angin perlahan sepoi-sepoi bertiup. Yang Kuasa sepertinya merestui acara ini.
Tidak berapa jauh, saya lihat ada kemacetan terjadi. Seorang petugas mengatur-ngatur jalan.
"Kiri... kiri...!"