Seorang Kompasianer pernah meminta saya untuk membahas ini dalam sebuah artikel. Jujur, sejauh saya menulis dan membahas cerpen, ini salah satu materi terberat yang saya ulas.
Berdasarkan KBBI, menghibur berarti menyenangkan dan menyejukkan hati yang susah; melipur. Hal ini mengindikasikan, setelah membaca cerpen menghibur, kita beranjak dari perasaan duka ke suka. Biar lebih jelas, betul-betul menghibur dengan bukti kita tertawa terbahak-bahak.
Pada kenyataan, dari sekian banyak cerpen para pengarang besar yang pernah saya pelajari, betapa sulit menemukan cerpen menghibur. Rata-rata mereka menceritakan kepahitan dan kegetiran hidup, kerumitan cinta para insan, problematik antarkeluarga, keluhan-keluhan yang tidak bisa terucapkan, dan seterusnya, yang semua membuat kita belajar dan semakin bijaksana menyikapi masalah. Bukan tertawa.
Di samping relativitas tolok ukur menghibur yang berbeda-beda antarorang -- bisa jadi satu tertawa satu tidak, ada beberapa hal yang saya kira menjadi penyebab cerpenis sulit menulis cerpen menghibur.
Cerpen melekat dengan pesan moral
Ada cerpen, harus ada pesan moral. Jangan sampai sia-sia pembaca meluangkan waktu membaca. Pesan ini mengarahkan dan mencerahkan pembaca ke jalan yang benar, membentuk moral yang baik, sekaligus memberikan alternatif solusi semisal masalah dalam kehidupan nyata sama dengan kisah cerpen.
Dan takada pesan moral yang bercanda. Rata-rata serius, karena hasil pemikiran bijaksana dari cerpenis. Selain itu, racikan dari pengalaman hidupnya.
Pikiran sudah dewasa
Pernahkah kita sadar, anak kecil betapa mudah tertawa dan bercanda, tanpa ada rasa sakit hati? Mereka saling mengejek nama, menggunakan nama orangtua sebagai bahan kelakar, dan terkadang menjahili, tetap mereka tertawa.
Sementara orang dewasa? Hahaha... Tidak saatnya lagi tertawa. Orang dewasa sudah berpikir baik buruk, benar salah, dan mempertimbangkan itu semua agar sebisa mungkin tidak melukai hati sesama.
Mencegah pembaca meniru
Cerpenis tidak bisa membatasi siapa saja yang membaca cerpennya. Meskipun sudah dibilang untuk dewasa, tidak menutup kemungkinan anak kecil turut membaca. Bila belum matang pikir, bisa saja anak itu meniru apa adanya.
Ketika cerpenis menyelipkan ejekan atau "hinaan" bodoh dalam percakapan sesama tokoh, anak itu bisa menirunya ketika bercakap dengan temannya. Orangtua pasti langsung menegur, "Kamu habis baca apa, Nak?" Anak kecil memang peniru ulung.
Cerpenis takut dicap
Cerpen yang ditulis adalah hasil pemikiran. Ketika menyisipkan ejekan dan kata-kata kasar, yang bagi cerpenis dimaksudkan candaan -- karena sudah terbiasa digunakan untuk percakapan antarsahabat, mungkin sebagian pembaca ada yang menangkap, "Wah, jangan-jangan kebiasaan nih, cerpenis suka mengejek di dunia nyata." Rusaklah citranya di mata mereka.
Oleh sebab itu, jarang ditemukan cerpen menghibur. Bila ada, cerpenis sudah tahu risikonya. Apa pandangan pembaca atas dirinya, siapa yang akan meniru ceritanya, dan bagaimana dampaknya.
Tetapi tenang, masih ada sekiranya hal-hal yang saya anggap cukup menghibur dan tidak masuk ke ranah melukai atau menyakiti orang dan tidak juga merusak moral. Saya akan mengambil beberapa contoh dari cerpen saya yang dinilai beberapa Kompasianer menghibur.
Mewakili perasaan hati
Cerpen merupakan cerita hidup yang terbentuk dari pikiran dan perasaan, entah itu imajinasi atau kenyataan. Beberapa kekesalan sulit ditumpahkan di dunia nyata dan melalui cerpen bisa dituliskan.
Bila kebetulan sama dengan yang dialami, pembaca pasti tersenyum dan mungkin tertawa. Semisal:
"Yang, kamu mau makan apa?" tanya seorang lelaki pada kekasih di sampingnya. Wanita itu asyik melihat telepon genggam. "Terserah, Yang," jawabnya perlahan. Lalu mereka berdua pergi ke sebuah restoran pizza. Sebelum turun dari mobil, wanita itu berbicara seperti mengeluh.
"Kok ke sini sih! Gak ada yang lebih enak lagi apa? Kamu gak tahu yang aku suka? Kamu gak peka," katanya sambil mengerutkan dahi. Lelaki itu tertunduk lesu.
Bukankah sering terjadi di dunia nyata, perasaan para lelaki terkoyak-koyak bingung. Semua serba salah, padahal petunjuk yang diberikan samar. Sebagian lelaki pasti tertawa.
Mewakili kebiasaan pembaca
Bagian ini mungkin sedikit tabu dan sebagian cerpenis malu mengungkapkannya.
...Mulutnya ternganga. Ia menurunkan ritsletingnya, seperti sesak dan ada sesuatu yang meronta-ronta untuk keluar. Ya, siapa lagi bila tidak adiknya. Bila dia tidak kuat, kakinya akan segera melangkah ke toilet, dan calon-calon orang berguna akan keluar begitu saja. Ia sekilas lupa dengan beban hidupnya...
Di atas penggalan cerpen "Pelajaran Malam Pertama". Kegiatan itu biasa dilakukan kaum lelaki, sebagai ritual bujang atau perilaku duda yang sudah tidak kuat menahan hasrat berahi. Pasti lelaki paham, siapa calon-calon orang berguna itu. Hahaha...
Mewakili perilaku aneh
...Apa yang ada di pikirannya, sehingga bisa-bisanya dia bilang ketek saya baunya enak, lalu dia menciuminya berulang-ulang, hingga terkadang hidungnya dia jejalkan terus-menerus, dan saya pun mau tidak mau tersenyum dan berakhir tertawa karena begitu geli merasakan beberapa bulu hidungnya yang keriting itu menyentuh permukaan kulit ketek saya...
Pada cerpen "Kelakuan Aneh Ibu", dengan menggunakan sudut pandang anak balita, saya membahas kebiasaan aneh sebagian ibu yang tidak beralasan, berupa menciumi ketek bayi dan kaki-kakinya.
Sekaligus saya ulas kebiasaan mereka yang bilang: "Anak siapa ini, anak siapa ini, gantengnya?" Tentu, sebagai balita akan bingung, masak ibunya lupa sama anaknya sendiri. Hehehe...
Mewakili kepuasan menyindir
Bagaimana ceritanya bila seorang yang diyakini "pintar" berobat ke dokter dan tidak bisa memulihkan diri sendiri? Tentu pandangan orang berubah. Dia dianggap tidak sakti dan orang menjadi malas mendatanginya. Sindiran ini saya temukan di cerpen "Kyai Sepuh" karya Seno Gumira Ajidarma.
...Kyai Sepuh sendiri memang tidak pernah memeriksakan sakitnya ke dokter. Karena ia berpikir jika dirinya berobat ke dokter dan darahnya diperiksa oleh laboratorium kesehatan, orang-orang tidak akan percaya lagi kepadanya.
“Masa orang pinter ke dokter,” itulah tanggapan yang dihindarinya...
Demikianlah, kira-kira catatan seputar cerpen menghibur. Semoga bisa bermanfaat, menjadi ide bagi yang hendak menulis cerpen.
Berhubung diskursus, saya buka kesempatan lebar bagi Kompasianer untuk memberikan pandangan di kolom komentar. Mana tahu menambah lagi ide untuk materi menghibur dalam cerpen.
...
Jakarta
11 April 2021
Sang Babu Rakyat
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI