Dia begitu tanpa cacat dalam prestasi. Dari kelas satu sampai tiga, selalu peringkat satu. Saya tidak mengerti apa yang ada di otaknya? Apakah dia sudah bisa menebak isi soal-soal ujian itu? Apakah dia selalu belajar dan belajar tanpa pernah bermain? Atau dia berasal dari keluarga yang genetiknya memang pintar?
Tidak pernah ada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Yang pasti, dia sudah mengharumkan sekolah kami, dengan prestasinya itu. Dan lagi-lagi, dia menang lomba kegantengan antarsekolah. Tidak ada siswa sekolah mana pun yang bisa mengalahkan akumulasi nilai penjurian yang diperolehnya.
Sudah ganteng, pintar lagi. Bukankah itu begitu ganteng?
Karena menang tingkat antarsekolah di kota ini, dia melaju ke lomba kegantengan antarkota. Kriterianya bertambah rumit. Kali ini, dinilai tingkat sopan santun dan budi pekertinya.
Apakah dia menghormati dan berbakti pada orangtua? Apakah dia menyayangi saudara-saudaranya, baik kakak maupun adiknya di rumah? Apakah dia seorang anak baik-baik dan tidak melawan guru di sekolah?
Kriteria-kriteria itu diperoleh dari wawancara orang di sekitarnya. Tidak mungkinlah orangtuanya yang ditanya. Pasti, mereka akan bilang anaknya baik. Tidak mungkin pula adik kakaknya. Pasti, mereka akan bilang saudaranya itu sopan dan sangat sayang.
"Dia anaknya santun, Pak. Setiap pergi ke sekolah, dia selalu pamit dan cium tangan kedua orangtuanya. Ketika jam pulang sekolah, dia selalu sampai rumah tepat waktu. Untuk pergi bermain keluar rumah, dia tidak berani bila orang tuanya tidak mengizinkan," kata seorang tetangga tepat di sebelah rumahnya.
"Oh, dia, Pak?"
"Dia itu anaknya rajin. Ke sekolah tidak pernah terlambat. Sama guru dia selalu hormat. Selalu dia menundukkan kepala setiap lewat di depan guru. Sama saya saja yang tidak penting ini, dia berbicara pelan sekali, begitu tertata dan sopan," kata penjaga sekolah ketika memberi kesaksian.
Para juri lomba mencatatnya dengan baik di atas sebuah kertas putih. Kali ini dia bersaing dengan lima puluh siswa terganteng versi kota masing-masing. Sama sekali saya tidak dapati dia gugup, ketika saya diam-diam membuntutinya.Â
Saya memang meminta kepada guru pendampingnya, supaya saya boleh menjadi bagian supporter lombanya ke mana-mana. Saya rela, mengeluarkan uang untuk transportasi dan beli busana meriah beserta aksesorinya, layaknya para cheerleader di lapangan basket. Saya rela, memberikan waktu membaca saya terbuang begitu saja--saya begitu suka baca--demi menyaksikan perjuangannya.