kegantengan pada dirinya sejak dulu, ketika kami belum kenal dan saya hanya duduk terpaku, sendirian, menatapnya dan teman-temannya bermain basket di lapangan sekolah kami.
Saya sudah menyadari ada bibit-bibitSaat itu, saya datang dari luar kota dan baru masuk sekolah lanjutan ini. Belum banyak teman yang saya tahu, hanya lima kawan dari sekolah sebelumnya, yang mendaftar bersama dan kebetulan kami masuk semua. Sungguh, kami begitu senang diterima di sekolah favorit di kota ini. Tambah senang pula ada dia yang begitu ganteng itu.
Kami berbeda angkatan. Saya kelas satu, dia kelas tiga. Saya hanya bisa melihatnya dari jauh, di bawah pohon di depan kelas saya, karena saya tidak berani mendekat, takut-takut salah ucap dan perasaan saya yang begitu menggelora ini diketahui olehnya.
Selalu saya sempatkan mengintipnya--dengan alasan pura-pura ke toilet atau ke kantin pada guru--saat dia sedang olahraga. Dia begitu mahir bermain basket. Sekali lempar, selalu masuk ke lubang. Dari jarak berapa pun, tetap masuk ke lubang. Beberapa teman wanita saya menganga menyimak kepandaiannya, sambil duduk begitu setia di bawah panas matahari, rela hitam-hitaman, demi menikmati kegantengannya.
Sekolah kami unik. Entah mengapa saya baru tahu sejak masuk. Tidak ada pemberitahuan di brosur-brosur pendaftaran. Tetapi, memang tidak penting juga untuk disebarluaskan.
Setiap tahun, sekolah kami mengadakan lomba kegantengan. Dari semua siswa pada setiap kelas, akan dipilih satu perwakilan untuk dilombakan kegantengannya. Dan tidak usah ditanya, dia pasti ikut.
Lomba ini semacam basa-basi sebetulnya, untuk meningkatkan keakraban antarsiswa. Para siswi akan duduk diam di depan panggung, melihat mereka siswa-siswa kontestan berkacak pinggang, berlalu-lalang, memamerkan kegantengannya, di bawah kerlap-kerlip lampu sorot. Kalau kamu bilang itu sebuah peragaan model, seperti itulah.
Jurinya bukan guru, bukan pula orang profesional yang sengaja didatangkan dari luar dan dibayar. Tetapi, mereka para siswi dan termasuk saya, dengan membubuhkan satu garis lurus semacam turus, menggunakan kapur putih, pada nama siswa kontestan yang dipilih di papan tulis hitam.
Tahun ini, dia juaranya. Dia mendapat peringkat siswa terganteng di sekolah saya. Saya senang. Tetapi lagi-lagi, saya tidak berusaha menunjukkan itu di depannya. Dari jauh tetap saya amati dan nikmati kegantengannya.
Di tingkat antarsekolah, lomba kegantengan pun ada. Saya heran dengan kebiasaan sekolah-sekolah di kota ini. Kali ini, kriteria ganteng bertambah. Selain dari faktor wajah, prestasi di sekolah juga diperhitungkan.
Entah memang dia beruntung, otaknya pun begitu encer, sehingga setiap ujian, dia selalu mendapat nilai terbaik. Karyanya yang dikirim pada lomba menulis ilmiah, selalu menjadi pemenang pertama. Gurunya pada kelabakan ketika mengajarinya. Bahkan, ada satu guru yang memintanya menjadi asisten untuk membantu mengajar.