"Pak, bapak harus tanggung jawab. Anak kita sudah besar. Ia mencari bapak!"
"Siapa ya?" jawab lelaki itu. Ia tidak ingat wanita di depannya. Rambutnya yang semuanya sudah memutih, membuatnya gampang lupa.
Wanita itu mengeluarkan sebuah foto. Foto seorang lelaki yang sedang menyetubuhinya. Bapak itu kaget melihat wajahnya ada di foto.
"Lin, tidak mungkin saya bapaknya. Kamu masak lupa? Saya tidak sempat keluar. Kita dulu digerebek petugas. Kau saja lari cepat-cepat, meninggalkan saya begitu saja."
Wanita itu mengerutkan dahi. Ia tiba-tiba ingat, memang suatu saat, pernah dalam pelacurannya, ia hampir ditangkap petugas. Apa dengannya? Perlahan ia menjadi yakin bahwa peristiwa itu memang terjadi dengannya, setelah melihat sebuah tompel hitam besar di pipi bapak itu.
Sepulang dari situ, wanita itu terus bersedih. Terus saja bersedih, pedih, membayangkan betapa suram anak gadisnya tanpa seorang bapak. Dalam air matanya, ia tetap berharap bisa menemukan bapaknya.
Kesedihannya pun sampai sekarang masih ada. Saya melihatnya dengan jelas. Ia menyendiri di sudut ruang ini, di tengah reunian teman-teman SMA kami. Kami sudah sepuluh tahun berpisah dan tidak menyangka bisa bertemu di sini. Ketika saya mendekatinya, saya heran, mengapa ia begitu mudah menceritakan itu semua, seolah-olah saya seseorang yang bisa dipercayai untuk menjaga rahasianya.
"Bagaimana kalau saya jadi bapaknya?" kata saya. Saya membelai pundaknya. Rambut hitam panjangnya masih saja indah seperti dulu. Bibirnya sedikit tersenyum. Sekali lagi, ia masih cantik seperti dulu.
"Kamu bercanda?"
"Tidak, saya tidak bercanda. Saya mau jadi bapaknya Sin."
Tiba-tiba matanya terbuka lebar. Ia menyeka air matanya yang dari tadi terus mengalir. Ia merasa tidak percaya akan perkataan saya.