Dengan berdandan sebagai wanita karier, ia pergi menemui lelaki pertama. Seorang bos perusahaan minyak yang masih muda dan begitu tampan. Ia ingat, pelacuran dengannya terjadi di sebuah hotel mewah.
"Tanggung jawab kau! Anakmu sudah besar! Ia mencarimu!" katanya sambil menunjukkan foto anak gadisnya. Lelaki berjas hitam itu duduk di atas sofa. Ia memijat-mijat dahinya dan berpikir bagaimana menjawab wanita itu, yang masih diingat betul betapa semok dan aduhai tubuhnya dulu.
"Saya kan mengeluarkannya di luar," katanya begitu tegas.
"Tidak ada yang masuk ke vaginamu. Bagaimana bisa kau bilang saya menghamilimu?"
Wanita itu menatap tajam mata lelaki itu.
"Tapi bisa saja kan, secara tidak sadar, sedikit spermamu keluar dalam pantatku, sebelum kau mencabutnya?"
"Ah, tidak mungkin itu. Saya ingat betul, semua itu saya keluarkan di atas perutmu. Sudah, pergi sana! Jangan ganggu saya! Saya sibuk. Satpam, tolong usir dia dari sini," kata lelaki itu sambil menghubungi seseorang lewat telepon.
Wanita itu pulang dengan wajah sedih. Kurang ajar memang, mereka yang memanfaatkan dirinya dan tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Tetapi, ia tetap berusaha. Sepulang dari situ, ia pergi ke sebuah kedai kopi, yang tidak begitu jauh jaraknya. Seorang pemuda berambut pendek, begitu rapi, bercelemek cokelat, sedang mengocok minuman di tangannya.
"Apa kau tidak ingat, ia sudah besar. Kau harus tanggung jawab," kata wanita itu sedikit berteriak. Pemuda di depannya masih saja mengocok minuman. Ia menuangkan sedikit demi sedikit cairan itu ke dalam gelas, di atas meja. Ia tidak memandang wanita itu.
"Oi!" wanita itu memanggilnya. Pemuda itu menengok.
"Lin, mengapa kamu ke sini lagi? Kita sudah tidak ada hubungan. Apa kurang dulu bayaran saya?"