Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Dunia yang Selalu Bahagia

31 Maret 2021   01:38 Diperbarui: 1 April 2021   04:49 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan itu terus saja murung setiap malam di sudut kamar petaknya, duduk di atas sebuah kursi dengan wajah termangu dan kedua tangan menyangga dagu. Tatapan matanya lurus tanpa makna, terasa kosong memandang ke dinding putih yang sudah kotor oleh coretan-coretan anaknya. 

Rambut keritingnya yang tidak pernah atau mungkin selalu lupa disisirnya, kusut berantakan dan sebagian terserak menutup dahinya yang akhir-akhir ini semakin begitu mudah bertambah keriputnya.

Meskipun dia abai--karena dia tahu lama-lama orang juga pasti tua dan tidak ada yang bisa menghindar--kerutan itu terus muncul begitu cepat tidak seperti pergantian hari yang begitu lambat, oleh sebab aktivitasnya yang begitu-begitu saja. Itu membuatnya tampak lebih tua dari umur seharusnya. Dia terlihat seperti nenek-nenek di usianya yang baru menginjak empat puluh tahun.

Akhir-akhir ini dia memang sedang tidak bergairah. Untuk berjalan ke toilet, dia menyeret kakinya, seperti begitu malas. Untuk membeli makanan, dia menyuruh anaknya. Uang pun tidak terasa menggairahkan lagi untuk hidupnya yang sudah terpuruk oleh bertumpuk-tumpuk kepedihan.

Dia tetap saja diam termenung, memikirkan hal-hal yang baginya terasa tidak masuk akal dan mengapa terus datang menyiksa batinnya, sampai-sampai dia lupa bagaimana cara menyunggingkan bibir, sekadar untuk menyemangati anaknya pergi sekolah.

Tidak ada percakapan hangat. Tidak ada canda dan tawa. Setiap malam, anaknya berusaha bertanya apa gerangan yang terus mengganggunya, tetapi dia tidak menggubris. Melirik anaknya pun tidak.

Beban begitu besar seakan menimpa pundaknya. Dadanya begitu sesak dengan perasaan-perasaan penuh kesedihan dan kegetiran. Otaknya hampir meledak dengan keberatan-keberatan yang ingin dia ajukan tetapi entah ke mana harus dia sampaikan. Matanya tidak bisa tidur barang seperti tidur ayam. Semua memang sudah lewat, ketidakadilan demi ketidakadilan yang kerap dideritanya tanpa jeda seperti hendak membunuhnya.

Tetapi, adakah yang bersih benar dan luka yang tergores menjadi tidak berbekas di hati seseorang? Meskipun anaknya sudah melucu, meskipun tontonan lawak di tv terus membahana, meskipun tetangganya datang membawakan makanan, dia tetap tidak mampu beranjak dari kesedihan. Kegetiran. Harapnya pun hanya kematian.

"Mama kenapa murung?" tanya anaknya yang berusia enam tahun dengan begitu polos. Tangannya membawa sebungkus nasi goreng yang didapatnya dari tetangga. Dia mengambil sendok. Dia membuka bungkusnya. Dia menaruhnya ke atas piring, lalu menyodorkan nasi itu di atas meja, tepat di depan perempuan itu. 

"Makan Ma, ayo makan," rayunya dengan terus tersenyum. Anaknya tidak tahu apalagi yang bisa membuat perempuan itu kembali bergairah.

Hidupnya memang begitu mengerikan. Belum genap sebulan, suaminya tewas dibunuh orang karena tidak mampu bayar utang. Kedua orangtuanya meninggal begitu dekat, hanya selang satu hari, karena menderita penyakit yang begitu parah. 

Ia ditipu beberapa pelanggannya. Malah, mereka terus menyiksa dan memperlakukannya bak binatang. Ia diperkosa dan tidak dibayar sepeser pun. Di kota besar ini, apakah yang bisa dilakukan untuk menyambung hidup tanpa modal, bahkan hampir mati tercekik oleh utang-utang suaminya? Hanya menjual diri di persimpangan jalan, itulah isi pikirannya.

Pekerjaan hina yang dijalaninya itu terdengar sampai ke kampungnya, membuat dia dijauhi oleh para kerabat dan saudaranya. Rencananya untuk pulang kampung pun batal, karena tidak ada orang yang mau menerimanya. Mereka semua malu. Ia dianggap sudah mencoreng nama baik keluarga.

Belum lagi satu-satunya motor yang dia gunakan untuk mengantar anaknya sekolah dicuri orang. Keberadaannya dalam kontrakan pengap ini bersama anak gadisnya yang entah berasal dari sperma siapa, pun tinggal menghitung hari, menunggu sisa-sisa isi dompetnya habis dalam waktu tidak berapa lama lagi. Ketakutan menggelandang di jalanan menyelimutinya.

walpaperlist.com
walpaperlist.com
Hari demi hari dia lalui dengan diam dan diam. Sedih dan menyedihkan. Sampai suatu saat, teman indekos sebelahnya, merasa begitu prihatin dan mencoba menghiburnya.

"Kamu mau bahagia?" tanyanya pada suatu malam. Perempuan itu masih duduk. Bergeming.

"Serius saya, kamu mau betul-betul bahagia? Saya tahu caranya, tetapi kamu harus ikuti apa kata saya."

Perlahan perempuan itu meliriknya. Kantung matanya yang begitu besar karena tidak tidur bermalam-malam, terlihat begitu hitam. Meskipun dia sudah tidak percaya apakah kebahagiaan itu benar-benar masih ada, perkataan itu sedikit menarik perhatiannya.

"Bagaimana?" Mulutnya sedikit terbuka.

"Saya kenal orang pintar. Dia punya obat yang bisa membuatmu bahagia. Kamu mau?"

Perempuan itu menganggukkan kepala. Dia menaruh sedikit percaya pada temannya itu, yang juga sama-sama seorang pelacur.

"Tapi, harganya mahal. Obat itu ada dua jenis. Kamu harus beli dua-duanya. Ada uang?"

Perempuan itu lekas mengambil dompet. Sisa-sisa uang berwarna biru yang sudah kumal diambilnya begitu saja. Bukankah uang memang hanya sebuah alat untuk beroleh kebahagiaan?

"Cukup?"

"Cukup. Besok saya belikan. Kamu tunggu di sini. Orang pintar itu tidak boleh ditemui sembarang orang. Apalagi kamu yang begitu menyeramkan ini. Nanti ilmunya hilang."

Anak gadisnya tertawa. Perempuan itu kembali termenung. Meskipun temannya berusaha melawak, perempuan itu tetap sulit tertawa, bahkan sekadar tersenyum.

Keesokan hari, temannya datang lagi. Ia menggenggam dua kantung plastik berisi obat berbentuk kotak kecil, hampir mirip tablet. Satu berwarna biru, satu lagi putih.

"Lin. Ini obat dari orang itu. Yang biru kamu minum."

"Terus?"

"Nanti kamu akan tidur. Lalu bermimpi."

"Dalam mimpimu, kamu tidak akan menemukan kesedihan. Kamu bahagia dan terus bahagia, bahkan kamu bisa memperoleh apa yang kamu inginkan. Membalaskan semua dendammu, tidak ada yang larang."

"Serius?"

"Saya tidak bohong. Saya sudah pakai obat ini. Saya juga banyak masalah seperti kamu. Karena obat inilah, saya bisa bertahan."

Dalam sekejap, perempuan itu meraih kantung dari tangan temannya itu. Ia melangkahkan kaki mengambil sebuah botol berisi air minum. Sudah lama memang dia tidak tidur. Temannya itu memegang tangannya.

"Tunggu dulu! Jangan buru-buru! Setelah kamu minum obat ini, harus ada seseorang di sampingmu. Dia harus meminumkan obat yang putih, agar kamu sadar kembali."

Perempuan itu lekas melirik anak gadisnya. Tanpa banyak bertanya, anak gadisnya menganggukkan kepala, seperti menangkap isyarat dari ibunya. Temannya itu lekas pergi. "Selamat berbahagia," ujarnya sambil menutup pintu.

Tidak berapa lama, obat biru itu ditenggaknya. Perempuan itu merebahkan badan. Dia tertidur.

Dia pergi ke sebuah alam yang begitu indah. Dia melihat dirinya mengenakan gaun yang begitu mewah, dengan riasan emas murni pada renda-rendanya, dalam sebuah rumah yang begitu megah. Dia melihat, suaminya hidup kembali, menemaninya membesarkan Sin, anaknya.

"Saya minta maaf, Lin. Saya janji tidak berutang lagi," ujar suaminya itu. Lin tersenyum, seakan tidak percaya dengan yang dilihatnya. Dari sebuah kamar di depannya, muncul bapak dan ibunya berjalan begitu sehat. Ia langsung memeluk mereka dan menciumi pipinya.

"Pak, Bu, Lin rindu," katanya perlahan. Ia meneteskan air mata, penuh keharuan. Orangtuanya tidak menjawab, hanya mendekapnya begitu erat dan terasa sangat hangat. 

Masih ada kebahagiaan yang dinikmatinya. Ia melihat orang-orang biadab yang sudah memperkosanya, tertangkap dan dihukum penjara bertahun-tahun, dalam sebuah layar televisi, yang sudah menyala tanpa disadarinya.

Namanya pun begitu harum. Banyak tetangga hingga kerabatnya merasa bangga pernah mengenalnya. Orang terkaya di kota itu, paling dermawan dan begitu dihormati. Ke mana pun ia melangkah, ia selalu bisa mengangkat dagu dan membusungkan dada. Semua serba ada, dalam sekedip mata, semua tersedia.

Uangnya begitu banyak. Mobil mahalnya hingga puluhan. Tanahnya berhektar-hektar. Ia tersenyum dan terus tersenyum, kemudian tertawa, melihat betapa indah hidupnya. Apakah ini yang namanya kebahagiaan? Ia tidak berhenti tersenyum. Dari hari ke hari, dalam mimpi itu, ia terus tersenyum dan tersenyum.

Dalam mimpinya, ia seperti tidak menemukan adanya masalah. Semua gampang dilewati begitu saja, sehingga wajahnya menjadi cerah. Kerutan wajahnya perlahan berkurang, dan di hadapan banyak orang dia terus gembira.

Dia tidak menyangka, masih ada keadilan dihidupnya. Masih ada kebahagiaan yang bisa diraihnya. Obat itu memang bekerja dengan sempurna. Dia terus bahagia, bahagia, dan bahagia, sampai tanpa disadarinya, dia tidak berhenti tertawa di depan orang-orang dalam mimpinya.

Satu demi satu dari mereka mulai melihatnya sedikit gila. Mereka tidak berani mengingatkannya, karena ia memang paling hebat di sana. Sebagai orang terkaya, apakah yang tidak bisa dikendalikan dengan uang yang begitu banyak? Kebahagiaan mana yang tidak bisa diciptakan uang? Kekuasaan apalagi.

Senyumnya itu terbawa ke dunia nyata. Anak gadisnya yang melihat ibunya rebah, begitu senang. Sudah lama dia tidak melihat ibunya tertawa. Sudah lama ia merindukan senyum itu, dan itu akhirnya benar-benar dilihatnya. Sudah lama pula dia tidak melihat wajah ibunya ceria dan begitu cerah.

Perempuan itu berpesan, tiga hari setelahnya, ia harus meminumkan obat putih itu. Tetapi, ia tidak tega merenggut kebahagiaan ibunya. Mengapa ibunya harus kembali ke dunia nyata yang begitu menyedihkan ini? Akhirnya, ia melupakan perintah ibunya.

Hari demi hari, hidupnya ia lalui dengan tersenyum, melihat ibunya rebah dan terus tersenyum, dalam dunia yang selalu bahagia, entah ada di mana.

...

Jakarta

31 Maret 2021

Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun