Ia ditipu beberapa pelanggannya. Malah, mereka terus menyiksa dan memperlakukannya bak binatang. Ia diperkosa dan tidak dibayar sepeser pun. Di kota besar ini, apakah yang bisa dilakukan untuk menyambung hidup tanpa modal, bahkan hampir mati tercekik oleh utang-utang suaminya? Hanya menjual diri di persimpangan jalan, itulah isi pikirannya.
Pekerjaan hina yang dijalaninya itu terdengar sampai ke kampungnya, membuat dia dijauhi oleh para kerabat dan saudaranya. Rencananya untuk pulang kampung pun batal, karena tidak ada orang yang mau menerimanya. Mereka semua malu. Ia dianggap sudah mencoreng nama baik keluarga.
Belum lagi satu-satunya motor yang dia gunakan untuk mengantar anaknya sekolah dicuri orang. Keberadaannya dalam kontrakan pengap ini bersama anak gadisnya yang entah berasal dari sperma siapa, pun tinggal menghitung hari, menunggu sisa-sisa isi dompetnya habis dalam waktu tidak berapa lama lagi. Ketakutan menggelandang di jalanan menyelimutinya.
"Kamu mau bahagia?" tanyanya pada suatu malam. Perempuan itu masih duduk. Bergeming.
"Serius saya, kamu mau betul-betul bahagia? Saya tahu caranya, tetapi kamu harus ikuti apa kata saya."
Perlahan perempuan itu meliriknya. Kantung matanya yang begitu besar karena tidak tidur bermalam-malam, terlihat begitu hitam. Meskipun dia sudah tidak percaya apakah kebahagiaan itu benar-benar masih ada, perkataan itu sedikit menarik perhatiannya.
"Bagaimana?" Mulutnya sedikit terbuka.
"Saya kenal orang pintar. Dia punya obat yang bisa membuatmu bahagia. Kamu mau?"
Perempuan itu menganggukkan kepala. Dia menaruh sedikit percaya pada temannya itu, yang juga sama-sama seorang pelacur.
"Tapi, harganya mahal. Obat itu ada dua jenis. Kamu harus beli dua-duanya. Ada uang?"