Sang tuan sengaja tidak memasang. Katanya, orang-orang yang di rumah itu sudah dewasa, jadi sudah tahu apa yang harus dilakukan, apa yang tidak. Manusia juga butuh kebebasan dan privasi yang seyogianya tidak perlu diawasi. Hal inilah yang membuat mereka berempat betah tinggal di sana. Seusai bekerja, mereka bisa dengan tenang berbincang. Tuan dan nyonya tidak akan marah, asalkan pekerjaan selesai.Â
Selain mereka, nyonya juga sangat senang. Akhir-akhir ini bahkan raut wajahnya tidak pernah sedih. Mukanya selalu berseri-seri, ketika setiap sore, sebuah mobil Fortuner hitam datang ke rumah, waktu suaminya pergi keluar kota.
Seorang lelaki berbadan tegap, berjas hitam begitu rapi, keluar begitu saja dari pintu mobil dan lekas menemuinya. Dia akan bermalam di rumah itu, kemudian keesokan hari pergi, dan malamnya kembali lagi, begitu seterusnya sampai suaminya akhirnya pulang.
Sebagian babu hanya bisa diam melihat kelakuan aneh nyonyanya. Apa nyonya butuh kehangatan? Apa sang tuan sudah tidak lagi melayani nafsunya? Apa nyonya tidak mencintai tuan lagi? Pertanyaan seputar cinta dan masalahnya itu terus berkelebatan di benak tukang kebun, yang memang baru merasakan cinta dengan si pengasuh bayi.
Pada suatu malam ketika nyonya sedang keluar, di tengah perbincangan biasa mereka berempat, muncullah diskusi itu. Si tukang kebun sepertinya sudah tidak kuat menahan emosi atas perbuatan nyonya itu. Betapa tega dia mengkhianati tuan yang sudah lelah bekerja baginya.
"Kalian tidak kasihan sama tuan?" tanya tukang kebun kepada mereka bertiga di ruang tengah.Â
Si koki menyajikan beberapa ketul roti yang baru matang dan menaruh empat gelas ke atas meja. Si pengasuh bayi baru datang dari kamar, setelah memastikan bayinya tidur nyenyak. Sementara pak sopir sudah duduk tenang, dengan sebatang rokok menyala di bibirnya.
"Memang kenapa?"
"Ya itulah, masak kalian tidak lihat. Nyonya kurang ajar sekali kali ini. Berani-beraninya dia memasukkan lelaki ke rumah ini. Apa tidak sebaiknya kita lapor tuan? Biar nyonya itu kena batunya," kata tukang kebun. Ia mengepalkan tangan.
Si koki menuangkan teh panas ke gelas.
"Kita ini cuma orang kecil. Kamu mau cari gara-gara?"