Seorang wanita mengambil tisu di atas meja. Ia mengelap sisa-sisa bubuk kopi di bibirnya.
"Siapa yang tidak tahu? Semua orang di kota ini juga tahu, ia punya tangan kanan dan tangan kiri. Tapi saya sudah tahu siapa tangan kirinya. Buat apa saya takut?"
Ajudannya itu tidak bertanya lagi. Ia diliputi rasa heran, bagaimana bisa tuannya tahu siapa tangan kiri itu. Mulutnya tidak henti merapalkan doa, agar tidak terjadi apa-apa pada tuannya.
Petugas keamanan di kota itu sudah bersusah payah mencari tangan kiri itu, sampai-sampai mengutus agen rahasia di mana-mana. Hingga detik ini, mereka hanya termakan kabar burung, yang tidak benar dan tidak jelas asal usulnya. Ia ada di sana, ia ada di sini, di mana-mana ia ada. Begitu informasi simpang siur tentang tangan kiri itu.
Tangan kiri itu memang begitu profesional. Ia terlatih bekerja tanpa perasaan, melenyapkan siapa pun pesaing tuannya. Pernah ia menembak mati orang yang berusaha menjatuhkan tuannya. Pernah ia menculik anak dari pesaing tuannya, dan mengancam akan memerkosa anaknya itu, bila pesaing tuannya itu tidak merelakan lelang proyek pertambangan untuk dikerjakan tuannya.
Beberapa tingkatan pimpinan yang dicapai tuannya sampai sekarang berkat jerih lelahnya. Ia telah membunuh begitu banyak orang, tidak terhitung jumlahnya. Pelurunya sudah menembus banyak jasad. Ia seperti malaikat maut yang bisa mencabut nyawa siapa pun, kapan pun ia mau.
Tuannya itu memang haus kekuasaan. Ia tidak pernah kenyang atas posisinya. Membawahkan banyak orang, semakin banyak, bahkan mungkin seluruh orang di kota itu adalah impiannya.
Ketika melihat orang mampu mendapatkan jabatan lebih tinggi darinya, selalu timbul rasa iri dan sakit hati dalam dirinya. Ingin sekali ia membinasakan orang itu dan merebut jabatannya. Dalam sekejap tangan kanan dan kirinya bekerja, sekejap pula posisi itu telah diraihnya dan orang itu tinggallah nama.
Apakah kekuasaan begitu hebat pengaruhnya sehingga bisa memikat manusia menghalalkan segala cara untuk memerolehnya? Apakah kekuasaan sudah mematikan nurani manusia yang seharusnya tetap hidup? Apakah kekuasaan memang sudah membutakan manusia, sampai-sampai tega menghilangkan nyawa?
Waktu pengumuman hampir tiba. Lelaki itu terus saja menggerutu, seperti mengeluarkan keluhan-keluhan yang mengutuk dan menyatakan kecewanya atas perbuatan bodoh tangan kirinya, yang tidak berhasil membinasakan wanita yang duduk tidak begitu jauh darinya dan sedari tadi hanya tersenyum lebar padanya.Â
Rasa girang yang dipertontonkan wanita itu, yang begitu yakin mampu mengalahkan dirinya pada pemilihan direktur itu, membuat kekesalannya semakin bertumpuk hingga ingin membunuh tangan kirinya.Â