Buku gambarnya berukuran lima puluh kali enam puluh sentimeter persegi, bersampul cokelat, dan cukup tebal, terdiri dari lima puluh halaman. Sudah lima buku yang ia gambar. Buku keenamnya ini, mulai ia gambar sejak masuk kuliah. Pada halaman pertama, tergambar ibunya. Halaman kedua, tergambar ayahnya. Halaman ketiga tergambar sosok yang sering menemaninya setiap malam.
Ya, ketika malam datang, Alexa selalu mengunci pintu kamar. Lampu ia redupkan. Buku gambar dengan satu halaman terbuka, tergambar sosok yang ingin ia lihat, ia taruh di sebelah bantal tidurnya. Lalu, tidak berapa lama, dengan matanya yang tetap ia jaga dari kantuk, ia melihat sosok itu keluar melompat dari halaman itu.
Sekejap, goresan-goresan pensilnya menjadi hidup. Sesosok lelaki berhidung mancung, berbadan tegap, berkulit putih bersih, berdada bidang, dan berambut hitam pendek, sudah duduk di dekatnya. Alexa tersenyum.
Sepanjang malam ia berbincang dengan lelaki itu. Lelaki itu begitu setia mendengar ceritanya. Pikiran-pikiran Alexa yang membentuk karakter lelaki itu dalam gambarnya, menjadi nyata.
Alexa membaringkan kepala di pangkuannya. Lelaki yang di kampus selalu mengejeknya itu, akan membelai-belai rambutnya perlahan, memijat lembut dahinya, sambil bersenandung mengantar Alexa tidur.
Pernah juga, pada malam lain, ibunya yang menemani tidur. Tangan ibunya yang masih terpasang infus, hidungnya yang penuh selang, dan pipinya yang begitu lebam karena ditampar ayahnya, begitu jelas tampak di sisinya.
Alexa tidak pernah sendiri setiap malam dalam kamar. Sosok-sosok yang ia gambar, akan hidup dan menemaninya tidur. Melakukan apa pun yang dikehendakinya, tanpa sedikit pun melukai hatinya.Â
Itulah pengobatan jiwanya yang tersiksa dalam kehidupan nyata dan tidak mau ia balas. Kekuatannya itu entah dari mana muncul begitu saja. Apakah karena cintanya menggambar begitu dalam sehingga mampu menghidupkan gambar-gambar itu ke dunia nyata? Alexa tidak pernah mengerti. Suatu kali, ayahnya tahu kekuatan Alexa itu, saat ia sedikit mengintip dari balik jendela yang terbuka.
"Alexa, tolong ayah!" suatu pagi ayahnya merengek-rengek di depannya. Ia sangat terdesak. Sebagian perabotan rumah tangga telah terjual. Tanah warisan sudah habis. Utangnya pada seorang tukang kredit karena ia kecanduan minuman keras begitu menumpuk. Ia tidak tahu harus berbuat apa lagi.
"Tolong ayah. Tolong sekali ini saja!"
Alexa duduk di kursi. Tangannya memegang buku gambar. Halaman kelima terbuka. Tergambar di sana, seorang lelaki berwajah garang mengetuk kencang pintu rumahnya, mendatangi ayahnya menagih utang. Tangan lelaki itu memegang seutas tali yang ujungnya terikat pada leher seekor anjing galak. Di saku celana jinnya, ada sebuah pistol. Kejadian itu tergambar seminggu lalu.