Alexa senang sekali menggambar. Sejak ia berumur empat tahun, kemampuan menggambarnya lebih menonjol daripada membaca dan menulis. Setiap ada lomba menggambar dari sekolah, ia terus menyabet juara pertama.
Para juri yang menilainya sering terpukau. Salah satu gambarnya tentang seorang pengemis berwajah kusam dan sedih, yang mengulurkan tangan meminta-minta di tengah jalan di antara tangan-tangan pengendara yang tampak menolak memberi--mengapa orang-orang susah sekali memberi selalu menjadi pertanyaannya, begitu hidup, seolah-olah pengemis itu serasa masuk ke dalam kertas gambarnya.
Ke mana-mana ia pergi, entah diajak orangtuanya berlibur, entah berangkat ke sekolah, atau jalan-jalan bersama teman-temannya, Alexa selalu membawa sebuah buku gambar lengkap dengan alat-alat gambar. Ibarat ada gula ada semut, ada Alexa pasti ada buku gambar.
Alexa memang suka mengabadikan semua kejadian hidup yang disaksikannya. Apa yang dilihat matanya, dirasakan hatinya, lalu direkam otaknya, dan tidak berapa lama ia menggambarnya. Kejadian itu seluruhnya pasti memiliki makna, yang baginya sungguh indah ketika digambarkan.Â
Baik peristiwa menyedihkan, membahagiakan, menakutkan, bahkan kehilangan, semuanya ada tersirat dan begitu terasa pada seluruh mimik wajah yang tergambar di setiap halaman bukunya.Â
Tidak terkecuali gambar ibunya yang tergolek lemah di rumah sakit dan akhirnya meninggal karena tidak kuat memikirkan begitu menderitanya hidup bersama ayahnya. Meskipun begitu pilu, Alexa mampu menggambarnya begitu apik. Dan tentu, begitu hidup.
Bila rindu datang, ia pasti membuka halaman buku itu dan memandangnya lekat-lekat. Semakin ke sini, gambar baju pasien yang dipakai ibunya semakin luntur warna birunya, terkena air. Alexa sering kalah menahan tangisnya.
Pada setiap gambar dalam bukunya, Alexa berusaha terus menaruh cinta ketika memandangnya. Meskipun terkadang jengkel, bahkan salah satu halaman sering ia lewati karena betapa benci ia pada sosok yang tergambar, Alexa sebisa mungkin tidak mau merusak gambarnya. Apalagi merobek halaman dan membuangnya. Itu selalu dihindarinya.
Untuk gadis yang sudah berumur seperempat abad, kebiasaannya membawa tas punggung yang begitu besar karena buku gambarnya cukup lebar dan alat gambarnya sangat banyak--pensil gambar, beberapa kuas, bertumpuk-tumpuk botol kecil berisi cat air beraneka warna, penghapus, tatakan-- sering menjadi bahan tertawaan teman-teman kuliahnya.
"Kamu ngapain bawa buku gambar ke mana-mana? Kayak anak kecil kurang kerjaan saja!" kata seorang teman lelakinya yang terus meledek setiap bertemu dengannya.
Alexa tidak mau menanggapi ledekan itu. Ia memilih diam dan tersenyum. Selain ingat petuah ibunya--tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan, perasaan Alexa yang kerap berdebar-debar ketika memandang wajah lelaki itu sebelum ledekan terlontar, lebih dari cukup untuk meredam amarahnya. Wajah lelaki itu tergambar di salah satu halaman bukunya.