"Terima kasih ya Pak sudah membantu."
"Sama-sama, namanya juga tetangga. Bantu membantu itu wajib bukan?"
Kedua anaknya yang sedari dalam truk sampai masuk rumah masih tertidur pulas, sehingga ia harus menggendongnya satu per satu, tiba-tiba terbangun lalu datang menghampiri. Salah seorang anak itu mengusap-usap matanya.
"Oh, perkenalkan Pak Sulepret. Ini anak saya yang pertama. Ayo Nak, Bapaknya disalam."
Anak itu mendekati saya. Rambutnya keriting panjang. Kulitnya putih. Anak di sebelahnya kulitnya juga putih. Karena Mari Salaman begitu hitam, saya rasa mereka seperti ibunya. Â
"Nama saya Mari Tersenyum," kata anak itu sambil menyodorkan tangan. Saya tertegun. Sempat beberapa detik, saya kembali tidak percaya. Nama apalagi ini?
"Kalau ini, anak kedua saya, Pak. Namanya Mari Tertawa." Adik anak itu, yang terpaut umur satu jam saat kelahiran, juga menyodorkan tangan. Kali ini satu menit saya tidak bergerak. Tangan mereka saya diamkan begitu saja.Â
Saya terpatung keheranan mendengar uniknya nama-nama mereka. Bapaknya Mari Salaman, anak pertamanya Mari Tersenyum, adiknya Mari Tertawa. Nama yang begitu aneh.
"Mereka lahir tepat sebelum istri saya hilang bersama banjir Pak, empat tahun lalu. Saya sendiri yang menamai mereka." Meskipun kata-kata Mari Salaman menyiratkan kesedihan tiada tara, ia tetap saja mampu mengucapkannya dengan tersenyum lebar. Saya memejamkan mata. Sinar lampu ruang tamu serasa terpantul lewat giginya sehingga membuat senyumnya kembali menyilaukan.
"Saya namakan mereka seperti ini agar saya ingat Pak, saya tidak boleh lama-lama bersedih. Saya harus kuat. Hidup ini selalu ada masalah. Bahagia atau berpura-pura bahagia adalah jalan terbaik untuk mampu menghadapinya. Ketika saya panggil nama mereka, saya geli sendiri dan akhirnya tertawa. Karena itu, saya mampu bertahan hidup sampai sekarang."
Mendengar ucapannya, saya tepekur. Betapa pilunya ia kehilangan istrinya. Betapa besar usahanya untuk tetap berjuang hidup seorang diri. Karena istrinya belum ditemukan meninggal, ia masih berharap bisa bertemu istrinya hidup-hidup, sampai-sampai ia memilih tidak menikah dan membesarkan kedua anaknya sendiri.