Ragam Pembuka Cerpen yang Menarik, alangkah lebih baik saya melengkapinya dengan tulisan ini. Sekaligus, sebagai kelanjutan dari Seberapa Penting Akhir Cerita pada Sebuah Cerpen?.
Karena saya sudah membahasSaya telah menguraikan bagaimana kedudukan penutup atau akhir pada sebuah cerpen, baik dari sisi cerpenis maupun pembaca. Penutup begitu penting untuk menyempurnakan keindahan cerpen dan sebagai salah satu dasar menilai cerpen itu menarik atau tidak.
Saya belum banyak membaca cerpen. Sampai sejauh ini terbaca sepuluh buku kumpulan cerpen pilihan Kompas dan lainnya, masing-masing 20 cerpen, dan rata-rata dituliskan oleh pengarang besar.
Saya amat-amati, hampir ada kesamaan ragam penutup dari sebagian besar cerpen tersebut. Dari sekian ragam itu, posisi saya sebagai pembaca, sungguh terkejut karena di luar dugaan. Sebagai cerpenis, sungguh menyenangkan, karena tambah wawasan.
Di sini saya tidak bermaksud membatasi pemikiran Anda bahwa penutup cerpen hanya terdiri dari ragam berikut ini. Anda bebas menciptakannya sesuai keinginan Anda sebagai cerpenis. Ini sekadar berbagi hasil belajar saja. Berikut, ragam penutup cerpen yang saya nilai menarik:
Akhir yang tanggung
Dalam cerpen "Kepala di Pagar Da Silva" karya Seno Gumira Ajidarma, diceritakan ada sebuah kepala anak perempuan dari seorang tokoh pergerakan ditancapkan pada tombak pagar rumah tokoh itu. Kepala itu menghadap ke pintu dengan mata terbuka.
Tokoh itu tidak melihatnya ketika masuk rumah. Dalam rumah, ia terngiang-ngiang dengan mimpi istri dan anaknya, lalu tersadar dan ingat bahwa anak perempuannya sejak ia masuk tidak ada di rumah.
Kalimat penutupnya: "Gerimis pun sudah berhenti. Air menetes-netes dari pucuk daun pisang. Da Silva membuka pintu."
Apa yang saya maksud tanggung di sini? Tanggung berarti sebuah perilaku tokoh di akhir cerita yang masih mengundang tanya, alias membuat pembaca penasaran. Cerpenis mempersilakan pembaca membayangkan sendiri, bagaimana perasaan tokoh itu melihat kepala anaknya yang terpenggal. Begitu mengerikan bukan?
Ragam ini saya terapkan pada dua cerpen saya, berjudul "Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden" dan "Kepala Kampung Baru". Saya tutup di sana dengan kalimat "Sulepret membuka gorden" dan "Ia membacanya".Â