Petikan kalimat di atas ada pada cerpen berjudul "Malin Kundang, Ibunya Durhaka" karya A.A. Navis, merupakan Cerpen Kompas Terpilih 1986. Singkat cerita, dikisahkan lakon utamanya ingin membuat pertunjukan sandiwara dengan skenario berbeda dari biasanya. Bila yang sudah tenar adalah Malin Kundang durhaka, maka dalam imajinasi lakon, dituliskanlah kisah ibunya yang durhaka.
Tetapi, pada akhir cerita, seperti petikan di atas, kata "itu" yang merujuk pada skenario hasil imajinasi, disadari bertentangan dengan hukum di bumi. Secara tidak langsung, cerpen tersebut mengingatkan bahwa moral manusia tetap harus dan sampai kapan pun menghormati ibu.
Alat Menyampaikan Pendapat dan Kritik
Bagian ini saya rasa tidak perlu contoh. Terlalu banyak dan telah lazim bagi Anda menemukan cerpen jenis ini. Bagaimana dalam cerpen dituliskan pendapat cerpenis yang disamarkan sebagai perkataan lakon, bahkan tidak jarang mengkritik keadaan sosial yang sudah kelewat batas. Cerpenis tidak suka menuliskannya khusus pada artikel opini, tetapi lebih mengasyikkan mengeluarkan unek-uneknya melalui cerita.
Jadi, karena saya tahu betapa mulianya peran cerpen bagi kehidupan manusia, maka saya tidak pernah bercanda dalam belajar dan menulis cerpen. Saya memang bukan cerpenis andal. Bukan.Â
Saya hanya orang yang berusaha menulis cerpen sebaik-baiknya. Semoga hasil belajar ini berguna untuk kemajuan penulisan cerpen di negara kita. Salam cerpen.
...
Jakarta
8 Maret 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H