“Kamu tidak ragu kan?”
Sulastri tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil.
***
Meskipun kakak beradik, Aksila dan Aliska bagai bumi dan langit. Aksila seorang perempuan yang pendiam. Rambutnya keriting panjang, berponi sedikit menutup dahinya. Kulitnya hitam manis. Hidungnya sedikit mancung, tidak seperti Aliska dan Sulastri yang begitu pesek.
Karena saking pendiam, ibu gurunya di sekolah bahkan kebingungan memberi nilai keaktifan di kelas. Untung, pikirannya yang terlalu encer saat menjawab soal ujian, masih mampu menolongnya mengangkat rendahnya nilai keaktifan.
Sementara Aliska, ia mampu berbicara sepanjang hari, memberikan pertanyaan-pertanyaan membabi buta, sampai-sampai Sulastri dan suaminya yang hanya lulusan SMP itu harus berpikir keras untuk menjawabnya.
“Bu, kok wajahku jelek ya?” tanya Aliska suatu sore setelah memandang dirinya di depan cermin. Ia memegang-megang hidungnya, seolah-olah membanding-bandingkan dengan kakaknya.
Sulastri selalu diam. Bagaimana caranya mengubah bentuk wajah bila sejak lahir sudah seperti itu? Setelah menutupi biaya sekolah anak dan membayar kontrakan, upah Sulastri dengan suaminya habis untuk biaya makan mereka. Tidak ada uang untuk mempercantik diri. Bisa beli bedak saja setiap bulan sudah syukur.
Ya, Sulastri bekerja sebagai pembantu harian beberapa rumah tangga di sekitar Kemayoran. Suaminya seorang tukang bajaj. Mereka tinggal di Tanah Tinggi, dalam kamar kontrakan yang begitu sempit untuk empat orang, berukuran tiga kali empat meter persegi, belum terhitung kamar mandi di dalamnya.
Namun, menurut orang di kampungnya, karena bekerja di ibu kota, Sulastri dipandang telah sukses. Apakah setiap orang yang menginjakkan kaki di ibu kota selalu berhasil?
***