Ketika membaca cerpen, alangkah lebih baik kita tidak berharap cerpenis--penulis cerpen--memuaskan hasrat kita, melainkan seyogianya kita mengikhlaskan imajinasi untuk masuk dan hidup dalam pikiran cerpenis. Jika cerpen yang dibaca tidak sesuai harapan, kita kecewa bukan? Bukan hiburan yang didapat, melainkan mungkin penyesalan akan waktu yang terbuang sia-sia.
Tulisan ini masih seputar proses belajar saya dalam mendalami cerpen-cerpen para cerpenis senior. Jujur, pertama saya kagum. Kenapa? Karena cerpennya bukan sekadar kumpulan kalimat, melainkan cerita tentang tokoh yang begitu hidup.
Dengan baik mereka tuliskan tokoh seolah-olah nyata--kendati ada juga yang benar-benar kisah nyata--dengan cerita kehidupan yang menarik. Meski takada gambar, takada video, kata-kata itu bisa hidup dalam imajinasi saya.
Studi kasus yang saya kupas di sini adalah cerpen "Pelajaran Mengarang" karya Seno Gumira Ajidarma (SGA). Kisah tentang Sandra, anak kecil kelas V SD yang memiliki ibu seorang pelacur.
Tentu, saya ingin tahu bagaimana SGA melukiskan pelacur? Bagaimana kehidupan Sandra sebagai anak SD? Bagaimana akhir cerita Sandra? Saya akan memasuki pikiran SGA, dengan mengikhlaskan diri saya tercebur ke ingatannya, melalui cara:
Beri diri lupa ingatan
Seperti kalimat pembuka, waktu yang kita donasikan untuk membaca sebuah cerpen sebaiknya dibarengi dengan keikhlasan mendalami pikiran cerpenis. Tanggalkan setiap kebiasaan kita dan jadilah tokoh dalam cerpen itu.
Bila tokoh adalah wanita, ikutlah jadi wanita. Bila pria, ikutlah jadi pria. Segala pikiran yang mengganggu tinggalkan dan luaskan diri dalam dunia imajinasi. Di sini saya tidak menyarankan Anda berubah kelamin lho! Hanya mencoba memahami sebentar permasalahan yang diangkat dalam cerpen dari sudut pandang berbeda.
Dalam studi kasus, saya membayangkan diri menjadi anak SD. Apa sih yang biasa dikerjakan anak SD?
Bacalah dengan sedikit bersuara
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!