Lalu, apa manfaatnya bila kita ikhlas memberi sejenak imajinasi, pikiran, dan waktu untuk hidup dalam cerpen?
Dapat menciptakan lakon yang hidup dan wajar
Asam garam kehidupan saya masih sedikit. Pengalaman bekerja sama saja. Tetapi, melalui hobi saya menulis cerpen, saya dituntut mengembangkan imajinasi akan tokoh yang hendak saya hidupkan dalam cerpen dengan perilaku wajar yang melekat.
Sebagai anak kecil kelas V, tentu pertanyaan Sandra terasa lugu: "Mama, apakah Sandra punya Papa?", "Mama, Mama, kenapa menangis Mama?", "Mama kerja apa sih?". Demikian contoh pertanyaan Sandra dalam cerpen itu.
Apakah layak Sandra berkata ketika mamanya menangis: "Sudahlah, tidak perlu dipikirkan Mama, hidup itu memang begitu, masalah selalu datang. Biasa saja." Kecil kemungkinan Sandra sebijak itu.
Apakah saya bisa menciptakan lakon profesor yang hidup dengan pikiran begitu pintar, kendati pendidikan saya rendah? Tentu bisa, dengan lebih dulu membaca cerpen fiksi atau kisah nyata yang menuliskan tokoh profesor bersama apa-apa saja yang biasa dilakukan dan sikapnya sebagai tokoh pendidikan.
Mengasah simpati dan kepekaan
Dengan penghayatan yang begitu dalam akan kejadian dan sikap yang dimiliki atau dialami lakon, maka kita dapat dengan mudah menentukan sikap bagaimana memperlakukannya bila bertemu dalam dunia nyata.Â
Merujuk pada logika yang terbentuk dari ajaran agama, kita bisa menyikapi dengan baik dan bijak. Tanpa logika pun, untuk orang yang gampang tersentuh, tentu lebih mudah bersimpati akan penderitaan, setelah membaca tokoh yang menderita.
Memperluas wawasan
Apakah cerpenis laki-laki tidak bisa menciptakan lakon wanita dalam karyanya? Apakah karena hidupnya begitu cuek dan kaku di dunia sehingga tidak mampu menuliskan tokoh perempuan yang gampang menangis dan mudah marah?