Salah satu pohonnya, tepatnya pohon mangga manalagi, tumbuh menjorok masuk ke halaman belakang saya. Ranting-rantingnya melewati dinding pembatas dan daun-daunnya ketika musim panas beberapa kali berguguran, mengotori kolam saya.
"Mas, coba kasih tahu Pak RT dulu!" kata istri saya seusai memandangi kolam saat sore hari.
"Kasih tahu apa, dek?"
"Itulah, tolong ditebang ranting-rantingnya itu! Apa dikira tidak capek menyapu setiap sore? Sampah-sampah daunnya masuk ke kolam kita. Ikan koinya jadi ketutupan deh. Apa gunanya kolam kita ini sekarang?" istri saya menggerutu.
 "Tapi kan dia RT dek, saya gag enak."
"Emang kalau RT tidak boleh diomeli begitu? Suruh-suruh orang tanam pohon, pohonnya sendiri gangguin rumah orang. Biar dia sadar Mas, tidak selamanya RT itu benar!"
"Tuh lihat, dinding rumah kita sudah mulai retak-retak. Apalagi kalau bukan gara-gara akar-akar pohon sialan itu! Coba Mas pikir, seandainya pohon itu tumbang kena petir di musim hujan, terus menimpa rumah kita, siapa mau ganti rugi?"
Saya merenung sejenak. Saya pikir-pikir, ada benarnya juga perkataan istri saya. Tumben, emosinya tidak mengalahkan logikanya. Tetapi, saya belum mau menegur Pak RT. Saya masih menghormati persaudaraan erat antara mendiang ayah saya dengan ayahnya.
Lama kelamaan, batang pohon mangga itu semakin menjorok dan kian merendah mendekati kolam. Masa berbunga telah lewat dan beberapa buah mulai membesar. Sebagian sudah menguning. Siap untuk dipanen. Semuanya itu ada di atas kolam saya.
"Permisi, Bu Aksila, maaf mengganggu."
"Iya, ada apa Bu RT?" istri saya menjawab ketus.