"Bapak-bapak sudah tanam pohon belum?"
Seluruh laki-laki dalam ruangan itu membisu. Mulai dari yang duduk di baris depan, sebelah tengah, hingga orang-orang yang menyandarkan punggungnya di dinding belakang sambil mengisap rokok berbungkus-bungkus sampai balai itu dipenuhi asap serupa kebakaran, hanya memberi tatapan kosong tanpa makna. Mereka seperti melihat pertunjukan monolog seorang pemain drama.
"Bapak-bapak tidak mau rugi ya? Saya lihat tidak ada satu pun yang melaksanakan imbauan saya!"
Seluruh laki-laki itu tetap terdiam. Beberapa menundukkan kepala. Beberapa lagi melihat ke luar jendela. Mereka sudah bosan dengan imbauan yang terdengar seperti paksaan, selalu diutarakan setiap memulai rapat. Layaknya kaset rusak yang bila diputar hanya mengganggu telinga.
"Bapak tidak capek kebanjiran terus?"
Lingkungan RT itu setiap lima tahun sekali dilanda banjir. Luapan air sungai dari kota sebelah ditambah derasnya air hujan kala musim penghujan tiba masuk melalui pintu, jendela, menggenangi jalan-jalan sempit dan memenuhi lantai dasar rumah-rumah di RT itu.Â
Sebagian besar warga sudah terbiasa dan mengantisipasi dengan membangun rumah bertingkat sampai tiga tingkat, di mana tingkat teratas digunakan untuk usaha.
"Nanti kalau bapak-bapak semua tidak tanam pohon, surat-menyurat segala keperluan jangan harap lancar!" Pak RT sedikit mengancam.
Awalnya, para warga memiliki halaman cukup luas di belakang rumah. Pohon-pohon rambutan, mangga, jambu, dan tiga empat beringin besar merimbunkan kompleks RT itu. Sepanas apapun sinar matahari, anak-anak tetap nyaman bermain di bawah rindangnya pepohonan.
Sejak beberapa perusahaan masuk lingkungan kota itu, di mana pabrik-pabrik mereka dibangun di sebelah RT itu dan menjadi daya tarik yang memikat warga kota sebelah untuk mencari pekerjaan, maka warga RT itu memutuskan lebih baik menebang pohon-pohon dan membangun kamar-kamar kecil guna disewakan untuk menambah penghasilan.Â