"Tapi kan saya sudah menggotong koper-koper besar Bapak. Masak hanya segini bayarnya?" suara Suleot semakin keras. Dia melemparkan uang lima ribu yang kusut itu ke rel kereta.
Sulepret yang melihat orang mulai berkerumun di sekitar mereka lekas-lekas berlari. Apalagi yang dilakukan orang-orang selain berkerumun ketika melihat ada yang tidak beres terjadi.
"Maaf, Pak, maafkan perbuatannya. Saya yang bertanggung jawab di sini," Sulepret membungkukkan badan. Tangannya menekan bagian belakang kepala Suleot. Suleot dengan terpaksa menundukkan kepala.
"Ya, sudah. Tidak apa-apa. Saya sebetulnya tidak mau pakai dia. Dia saja yang memaksa angkat-angkat"
 "Mohon maaf sekali lagi, Pak. Harap maklum, dia masih muda"
"Jangan diulangi. Kalau penumpang tidak ingin diangkat barangnya, jangan memaksa!"
"Baik Pak, baik"
Penumpang itu akhirnya pergi dengan damai. Tangan Suleot yang mengepal keras sedari tadi perlahan mengendur. Setelah itu, Sulepret dipanggil kepala stasiun.
Dalam ruang kepala, Sulepret harus ikhlas. Hampir satu jam, dia diceramahi karena perbuatan yang tidak dia lakukan. Dia dipandang gagal membina pekerja baru. Dia sempat dilaporkan ke perusahaannya, untuk dipertimbangkan kembali jabatannya sebagai ketua porter. Sempat pula kepala stasiun itu mengajukan usulan penundaan pembayaran upah, tetapi ditolak.
Sulepret kembali harus ikhlas dan menahan emosi dalam-dalam, setelah tidak berapa lama mengetahui Suleot adalah anak dari manajer hotel tempat dulu dia bekerja. Manajer yang memfitnahnya tanpa bukti mencuri barang milik tamu hotel. Manajer yang memecatnya ketika istrinya sedang sangat butuh uang karena hamil tua. Sulepret sungguh tidak ingin menjadi Sulepret ketika pertama kali bekerja sebagai porter.
Ketika dia diam-diam membuntuti seorang pemuda di luar stasiun, memukul tengkuknya dengan batu, dan mengambil seluruh isi dompetnya. Koper-kopernya berserakan. Tas jinjingnya berhamburan.