"Kalau orang yang seperti foto ini tidak ada, Bu. Tetapi, kalau orang bernama Jumadi Sumangap, ada di sini. Baru saja kami tangkap. Dia di kamar depan. Mungkin sama seperti yang ibu maksud. Sebentar saya antar."
Saya mendengar pembicaraan itu meski kurang jelas. Suaranya seperti saya kenal. Tiba-tiba pikiran saya melayang-layang. Terbayang jelas-jelas, seorang lelaki dengan sebilah belati di tangan dan wanita bersaputangan hitam membunuh dan membekap ayah saya tepat di depan mata. Darah ayah bermuncratan ke lantai. Tubuhnya tergeletak tak berdaya. Saya lari tunggang-langgang, menggenggam erat surat yang saat ini ada dalam tas jembel saya.
Jauh-jauh hari sebelumnya, ayah pernah berpesan pada penjaga rumahnya. Suatu kali bila ayah tidak ada, tidak seorang pun boleh masuk ke rumah tanpa surat wasiat.Â
Sepuluh detik kemudian saya tersadar. Lekas-lekas saya pinjam korek api dari kantong Samijun. Saya buka tas saya, saya ambil surat itu, saya robek-robek, saya bakar dan abunya saya tiup kencang-kencang.
Meski saya kalian temukan, saya tidak izinkan kalian mendapatkan rumah itu. Kalian harus menderita. Saya tertawa.
...
Jakarta
2 Februari 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H