Rumah itu tidak berpenghuni. Pemiliknya, seorang lelaki lansia sudah mati. Sementara ketiga anaknya tidak boleh masuk ke sana. Sebelum bertemu Sulepret dan Samijun, saya sempat lewat dan memandang sekilas rumah itu dari jarak tujuh ratus meter dari balik pohon.
"Ah, seandainya kami para gelandangan ini bisa tinggal di sana," pikir saya saat ini dalam lamunan beberapa detik bersama angin yang mulai mendinginkan kaki kapalan saya.
"Nah, ini mereka. Tangkap!"
Suara besar tiba-tiba terdengar dari belakang. Para lelaki yang menangkap Sulepret tadi muncul di depan kami. Tangan kanan mereka memegang pentung, sementara tangan kiri membawa tali.
"Bawa mereka ke kantor!"
Samijun yang masih sayup-sayup matanya itu kaget terbangun. Saya yang sudah kehabisan tenaga tidak bisa melawan. Kami tertangkap. Tanda pengenal usang kami ditahan.
Di kantor itu, terdapat beberapa kamar berukuran kecil yang masing-masing seluas tiga kali empat meter persegi. Setiap kamar diisi dua orang. Saya dengan Samijun ditahan bersama. Sulepret entah di kamar mana.
"Maaf, apakah di sini ada yang bernama Jumadi?" Seorang laki-laki bertanya di ruang tamu kantor itu. Bersama seorang wanita yang lebih muda darinya, dia mencari seseorang. Beberapa kantor telah mereka datangi.
"Siapa nama lengkapnya? Jumadi siapa?" Jawab laki-laki berseragam cokelat di depannya.
"Jumadi Sumangap, Pak. Seperti ini perawakannya," wanita di sampingnya itu menimpali. Tangannya menyodorkan sebuah foto. Seorang lelaki tua bersama tiga orang anak berdiri tersenyum bak foto keluarga.
"Ini Pak, yang berdiri di belakang paling kiri," wanita itu menunjuk-nunjuk. Lelaki berseragam cokelat itu terdiam sejenak. Dahinya berkerut.