"Maaf, Yang. Aku tidak merayakan Valentine. Pasti kamu berharap kita jalan-jalan berdua sepanjang hari kemarin. Bagiku, itu tidak perlu."
"Tidak cukupkah aku menunggu setiap hari di depan gerbang kantormu. Ditemani hujan dan remang-remang cahaya lampu di larut malam. Aku selalu khawatir bila kamu pulang sendirian. Jalanan depan kantormu yang sepi menambah kecemasan."
"Selain itu, aku berusaha menyisihkan sebagian kecil gajiku untukmu, kendati kamu belum jadi istriku. Hebat bukan? Kamu belum hidup serumah denganku, tetapi sudah menikmati jerih payahku."
"Aku tahu, gajimu tak seberapa. Habis pula menghidupi keempat adikmu yang masih kecil itu. Apalagi, ibumu sakit-sakitan. Aku tidak kuat melihat tanggunganmu sebagai anak pertama."
"Belum lagi, aku selalu menjaga nama baikmu di depan sahabat-sahabatku. Mereka kerap berbicara jelek terkait dirimu. Tetapi, kuhempaskan semua dengan hal-hal baik yang bisa diceritakan darimu. Tentang tanggung jawabmu, keuletan bekerjamu, sampai ketegaran dirimu."
"Aku tahu, sepuluh lelaki kamu lewati sejauh ini. Aku tak bisa membayangkan betapa kuatnya dirimu bermain cinta sebanyak itu. Diputus atau memutus, tetap saja menyakitkan. Aku pun tak menyangka bisa menerimamu. Mungkin aku gila."
"Terakhir, tanpa kau ketahui, namamu, adik-adikmu, dan ibumu selalu kudoakan setiap malam. Agar kamu bisa melupakan akar pahit tentang perilaku bangsat ayahmu, derita cinta dari lelaki-lelaki keparat itu, hingga tetap tegar mengampu tanggung jawabmu."
"Tidak cukupkah itu semua menjadi bukti cintaku untukmu?"
Seusai membaca, jarinya mengetik beberapa kalimat.
"Tapi, ini kan Valentine, Yang. Hari spesial di mana orang-orang memadu cinta, melepaskan kasih sayang. Seharusnya, aku dapat itu semua. Setidaknya cokelat darimu. Tetapi kenapa kamu tidak peduli sama sekali? Kamu tidak benar-benar cinta padaku? Seharian aku kamu diamkan."
"Kamu harusnya datang ke rumahku. Kamu harusnya ajak aku jalan-jalan. Kamu harusnya mentraktir aku makan. Aku malu, diejek teman-teman. Valentine kok diam-diam saja."