"Baik Pak" Tanggap si sulung atas nasihat Bapaknya.
"Pak, bagus sekali dasinya. Aku suka warnanya, meneduhkan. Terima kasih ya, Pak" Pesan susulan anak kedua tertulis. Tersimpulkan setelah dia melihat isi kotak kiriman Bapaknya. Sebuah dasi bergambar air laut jernih berwarna biru muda. Terasa menenangkan baginya.
"Sama-sama, Nak. Bapak tahu, kamu pendiam. Tidak banyak bicara. Dasi biru itu bapak kirimkan supaya kamu ingat. Bila saudara-saudaramu berkelahi, jadilah penenang di antara mereka. Kericuhan kau hilangkan, amarah kau redamkan. Bapak tidak ingin ada permusuhan di antara kalian"
"Baik Pak" Anak kedua mengiyakan.
"Bapak tahu aja kesukaanku. Terima kasih ya, Pak" Anak ketiga memperpanjang percakapan malam itu. Beribu-ribu perasaan sukacita memenuhi lubuk hatinya. Setelah melihat dasi berwarna putih bersih bergambar gereja di bagian tengahnya.
"Bapak tahu panggilanmu, Nak. Jadilah pelayan Tuhan yang setia, hadirkan kasih-Nya di antara kaum papa. Pakailah dasi ini setiap kamu bertugas melayani di gereja"
"Baik Pak, kudoakan bapak selalu sehat dan tetap mendoakan kami ya Pak" Kehangatan cinta sangat terasa di balasannya.
Ketiga dasi itu bukan dasi baru, melainkan dasi bekas yang dipakai sepanjang hidup lelaki tua itu, hingga memiliki empat anak. Semua mengandung sejarah, yang lebih berharga dari uang kepunyaannya.
***
"Sial, busuk kali dasi ini" Si bungsu menatap nanar dasi pemberian bapaknya. Dia tidak meneruskan percakapan malam itu, melainkan tenggelam dalam gerutu terhadap Bapaknya. Dia iri dengan dasi-dasi kakaknya.
Bagaimana tidak. Dia memperoleh sebuah dasi polos berwarna hitam penuh noda di pinggirnya. Tampak lusuh, bahkan lebih cocok dibuang ke tempat sampah. Pikirnya.