Di sebuah kampung di negeri antah berantah, tersebutlah satu kepercayaan tentang anak lelaki. Anak lelaki merupakan kebanggaan keluarga. Pemimpin bahtera rumah tangga dan penentu setiap keputusan.
Warga seluruh kampung menghormati kepercayaan itu. Sudah ada sejak lama, sedari nenek moyang mereka. Baik yang setia tinggal di kampung maupun telah merantau keluar, kepercayaan itu selalu dijunjung tinggi.
Anak lelaki adalah tanda kehormatan. Pelindung keluarga dan sumber kebijaksanaan. Warga kampung percaya, logika terbaik hanya ada di lelaki. Tidak perempuan, hanya suka bermain perasaan.
Maka tidak heran, setiap ada warga melahirkan, dan anaknya lelaki, diselenggarakan pesta besar-besaran di rumah warga itu. "Uangnya darimana?" Bukan dari keluarga itu, melainkan warga sekampung.
Mereka berbondong-bondong membawa makanan yang sudah dimasak dari rumahnya sendiri dan membagikan kepada tamu yang datang. Lebih lagi, kepala kampung pasti menyembelih seekor kerbau, disajikan berkuah gulai, sebagai puncak pesta itu. Tuan rumah cukup menyediakan tempat.
Kehormatan lelaki semakin tampak di setiap jabatan kampung. Mulai dari kepala kampung, sekretaris kampung, bendahara kampung, hingga seluruh perangkat kampung wajib diduduki lelaki. "Jangan ada sedikitpun salah ambil keputusan untuk warga kampung" Demikian peraturan pemilihan pejabat kampung, yang memercayai bahwa logika terbaik hanya ada di lelaki.
Anak lelaki Pak Dedi, salah satu warga kampung itu, baru saja menikah. Namanya Budi. Dia mendapatkan gadis cantik jelita dari kampung sebelah, bernama Susi.
Mereka menikah di depan rumah. Karena Pak Dedi menjabat bendahara kampung, pernikahan itu ramai dikunjungi seluruh warga. Semua memberikan ucapan selamat sekaligus mendoakan. "Semoga dapat anak lelaki ya" Budi dan Susi mengamini.
Tahun pertama pernikahan, Susi mengandung. Dia meminta banyak sekali keinginan pada Budi, semasa kandungannya. Minta mobil-mobilan lah, robot-robotan lah, bahkan mainan bola sepak.
Budi tanpa mengeluh mengiyakan. Dia yakin, anaknya sepertinya lelaki. "Bagaimana tidak, ngidamnya seperti itu" Saat kelahiran pun tiba.
"Ooooeeekk ooeeek oeeekk"
Tangisan keras seorang bayi meramaikan rumah dukun bayi di kampung itu. Budi dari kejauhan melihat. Diamati baik-baik anaknya. Matanya tertuju kepada ada tidak daging tumbuh di antara dua paha anaknya. "Sial! Perempuan"
Sementara itu, Susi mendekap anaknya erat-erat. Dirasakan jantungnya berdetak kencang di antara kedua buah dadanya. "Anakku sayang, ibu di sini" Berbisik dia di telinga anaknya.
Kendati Susi bahagia atas kehadiran anaknya, tidak demikian dengan Budi dan Pak Dedi. Mereka kecewa berat. Anak itu jarang sekali mendapat perhatian. Paling, ditanya sudah makan atau belum. Setelahnya, waktu penuh dihabiskan bersama ibunya.
Budi tidak putus asa. Dia berjuang mati-matian mempertahankan kehormatan dan membanggakan keluarganya. Jeda setahun anak itu lahir, Susi mengandung lagi. Kali ini, dia tidak ngidam apa-apa.
Anak kedua pun lahir. Sama seperti anak pertama. Perempuan.
Warga kampung seluruhnya cepat mengetahui. "Perempuan lagi sepertinya" Ujar salah seorang warga. Dia tahu, karena tidak ada pesta kelahiran anak di rumahnya.
Budi kembali tidak patah arang. Kembali lagi digauli istrinya itu, sampai dia telah melahirkan enam anak. Seluruhnya perempuan. Setelah melahirkan anak keenam, Susi berkata pada Budi.
"Bud, aku sudah capek ngelahirin. Sudahlah, kita cukupkan. Kan sama saja, anak perempuan dengan laki-laki. Toh, mereka juga anak kita"
"Kamu mikirin siapa?" Budi menyentak. "Kamu gag mikirin keluarga ini? Mau jadi apa kita di depan warga? Bapak itu pejabat kampung. Wajib dihormati. Sudah-sudah, tidur sana"
Susi terdiam. Dia masuk kamar. Sesekali dia terlihat mengerang kesakitan. Mengelus-elus bagian pinggangnya yang terasa sangat nyeri. Seperti sudah capek melahirkan.
Akhirnya, dengan terpaksa, Susi melayani lagi birahi suaminya yang ambisius itu. Di tengah kesakitannya. Kali ini, Budi yakin, anaknya lelaki. Dia telah meminum ramuan sakti, yang diperoleh dari orang pintar ternama di kampung itu.
"Ooooeeekk ooeeek oeeekk"
Anak ketujuh lahir. Laki-laki. Budi sontak kegirangan melihat bayinya. Di sampingnya, Pak Dedi pun bahagia. Segeralah diminta bawahannya, yang mendampingi saat itu juga, untuk mengumumkan ke seluruh warga kampung. "Persiapkan pesta besar-besaran"
"Maaf, Pak Budi. Bu Susi tidak tertolong lagi. Saya hanya bisa menyelamatkan anak ini" Dukun bayi yang tujuh kali membantu Susi melahirkan, menyela di sela kegembiraan. Susi sering bercerita padanya bahwa dia tidak sanggup lagi menahan kesakitan di pinggangnya.
"Nanti kita makamkan" Jawab Budi datar.
Karena saking bahagia melihat anak lelaki itu, Budi dan Pak Dedi tidak menangis kehilangan. Mereka malah fokus mempersiapkan segala sesuatu untuk pesta besar. Tanda kehormatan keluarga sudah datang.
Di sudut ruangan bersalin itu, tiba-tiba angin dingin berembus. Kain penutup jendela melambai-lambai. Bersamaan dengannya, berbisik lirih sebuah suara.Â
"Kamu jahat, Bud"
...
Jakarta
24 November 2020
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H