Tangisan keras seorang bayi meramaikan rumah dukun bayi di kampung itu. Budi dari kejauhan melihat. Diamati baik-baik anaknya. Matanya tertuju kepada ada tidak daging tumbuh di antara dua paha anaknya. "Sial! Perempuan"
Sementara itu, Susi mendekap anaknya erat-erat. Dirasakan jantungnya berdetak kencang di antara kedua buah dadanya. "Anakku sayang, ibu di sini" Berbisik dia di telinga anaknya.
Kendati Susi bahagia atas kehadiran anaknya, tidak demikian dengan Budi dan Pak Dedi. Mereka kecewa berat. Anak itu jarang sekali mendapat perhatian. Paling, ditanya sudah makan atau belum. Setelahnya, waktu penuh dihabiskan bersama ibunya.
Budi tidak putus asa. Dia berjuang mati-matian mempertahankan kehormatan dan membanggakan keluarganya. Jeda setahun anak itu lahir, Susi mengandung lagi. Kali ini, dia tidak ngidam apa-apa.
Anak kedua pun lahir. Sama seperti anak pertama. Perempuan.
Warga kampung seluruhnya cepat mengetahui. "Perempuan lagi sepertinya" Ujar salah seorang warga. Dia tahu, karena tidak ada pesta kelahiran anak di rumahnya.
Budi kembali tidak patah arang. Kembali lagi digauli istrinya itu, sampai dia telah melahirkan enam anak. Seluruhnya perempuan. Setelah melahirkan anak keenam, Susi berkata pada Budi.
"Bud, aku sudah capek ngelahirin. Sudahlah, kita cukupkan. Kan sama saja, anak perempuan dengan laki-laki. Toh, mereka juga anak kita"
"Kamu mikirin siapa?" Budi menyentak. "Kamu gag mikirin keluarga ini? Mau jadi apa kita di depan warga? Bapak itu pejabat kampung. Wajib dihormati. Sudah-sudah, tidur sana"
Susi terdiam. Dia masuk kamar. Sesekali dia terlihat mengerang kesakitan. Mengelus-elus bagian pinggangnya yang terasa sangat nyeri. Seperti sudah capek melahirkan.
Akhirnya, dengan terpaksa, Susi melayani lagi birahi suaminya yang ambisius itu. Di tengah kesakitannya. Kali ini, Budi yakin, anaknya lelaki. Dia telah meminum ramuan sakti, yang diperoleh dari orang pintar ternama di kampung itu.