Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

ASN Kementerian Keuangan. Alumni Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Nomine Terbaik Fiksi 2021. Peraih Artikel Terfavorit Kompetisi Aparatur Menulis. Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor Majalah Desentralisasi Fiskal, Ditjen Perimbangan Keuangan. Kontributor Buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Redaktur Cerpen Sastra. Juri: a. Perjamuan Sastra Cerpen Kompasiana, b. Sayembara Cerpen Perkumpulan Pencinta Cerpen, c. Lomba Artikel Opini Komunitas Kompasianer Jakarta, d. Lomba Cerpen Audio Komunitas Lomba Baca Cerpen, e. Lomba Cerpen Nasional Lembaga Kajian Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, dan f. Lomba Cerpen Audio Siswa/Siswi SMA/SMK di Bandung. Narasumber: 1. Pertemuan Perkumpulan Pencinta Cerpen: a. Tema I, Bagaimana Menyusun Paragraf Pembuka Cerpen yang Menarik?; b. Tema II, Membangun Ketegangan Konflik Cerpen; dan c. Tema III, Menyusun Judul Cerpen yang Menarik, 2. Sharing With Blogger di Bisnis Muda (afiliasi Bisnis.com): Strategi Menjaga Semangat Menulis Jangka Panjang dan Cara Mengatasi Writer’s Block, 3. Bimbingan Mental dan Rohani di Direktorat Dana Transfer Umum, Ditjen Perimbangan Keuangan: Healing Through Writing. Host Community Sharing Kompasianival 2023. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang, Kucing Kakak, Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan, Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden, dan Pelajaran Malam Pertama. Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa. Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Gelang Emas Sang Penjual Ikan

4 November 2020   17:26 Diperbarui: 4 November 2020   17:32 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*Klinting*

Terdengar suara seorang wanita membersihkan ikan. Di kios paling ujung pasar tengah desa itu, dia sibuk mengupas sisik lima ekor ikan Gurame. Pesanan Bu Andi yang diambil nanti siang.

Suara itu, bukan dari pisau yang digunakan. Bukan pula dari receh kembalian di kaleng uang. Melainkan gesekan sejumlah gelang emas di tangannya. Lima belas di kanan, lima belas di kiri.

Dia suka memakai gelang emas. Pikirnya, semua keuntungan penjualan harus ditabung. Disimpan untuk masa depan anak-anak. Karena tidak percaya bank dan tidak bisa menaruh uang di rumah, akhirnya dipilihnya emas. Selalu melekat pada dirinya.

Namanya Bu Susi. Umur tidak muda lagi. Badan tak sekuat dulu lagi. Dia pun pernah berkata pada ketiga anaknya. "Nak, bila ibu tidak ada, gelang ini ibu tinggalkan untuk kalian"

***

Keseharian Bu Susi banyak dihabiskan di pasar. Bukan di rumah, seperti ibu-ibu lainnya. Baginya, pasar seperti surga, sementara rumah layaknya neraka. Bila anak-anak belum pulang sekolah, dia tak berani ke rumah. Pak Didi, suaminya, kejam sekali. Suka memaksa dan memukuli.

Setiap hari minta jatah, dari hasil penjualan ikan. Seorang pengangguran dan gemar bermalas-malasan sepanjang hari. Mengisap rokok dan sering berjudi. Bila kalah, amarahnya dilampiaskan ke istri.

"Mana uang" Malam itu, Pak Didi memaksa lagi. Dia kalah judi.

"Gag ada" Bu Susi menjawab. Dia terpaksa berbohong. Demi tabungan anak-anak. Setiap kali suami memaksa meminta gelangnya untuk berjudi, dia selalu menolak. "Ini bagian anak-anak!"

"Ngapain aja kau seharian, masak tak bawa uang" Pak Didi mengambil sapu lidi. Dipukulkan kencang sapu itu ke arah tangan istrinya. Bu Susi, yang sudah lelah berjualan, berteriak kesakitan. "Arrrrggghh"

Anak tertuanya lekas melerai. Dia paling berani dibanding kedua adiknya. Paling tak tega melihat ibu disakiti. "Cukup Pak" Tangannya merebut sapu itu. 

Setiap kemarahan Pak Didi disertai umpatan kebun binatang yang tak enak didengar. Bertahun-tahun Bu Susi memilih bertahan, demi anak-anak. Dia takingin mereka malu dan dicela, karena orangtuanya bercerai.

***

Suatu ketika, karena kekalahan berjudi bertubi-tubi melanda, Pak Didi berkali-kali naik darah. Hal itu membuatnya terkena serangan stroke berat. Ditambah lagi, dia pernah divonis kanker paru-paru. Dia pun akhirnya terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Harus operasi.

Biaya operasi dan perawatan mencapai puluhan juta. Keluarga itu tak punya apa-apa lagi. Tinggal tiga puluh gelang emas tersisa. Bu Susi pun bertanya pada anak-anak.

"Nak, tidak apa-apa ya, bagianmu ini untuk membayar perawatan Bapak?"

"Tak sudi aku Bu. Ngapain ibu menolongnya? Ibu tidak tahu perlakuannya selama ini?" Anak kedua mengambil suara. Dia bahkan tak sudi menyebutnya Bapak. Sama sekali tidak layak.

"Aku sepakat. Biar aja Bapak mati. Gag usah ditolong, buat apa? Gag guna" Si bungsu memanas-manasi.

Bu Susi galau. Dia bingung. Sebagai istri dan ibu, harus memilih mana. Menjual gelang untuk suami, bagian anak-anak hilang. Memilih anak-anak, suaminya bisa tak tertolong.

Akhirnya diambil keputusan. "Nak, temani ibu ke toko. Ibu mau jual gelang ini" Dia memilih suami. Anak sulungnya kemudian menemani. Di toko emas itu, seluruh gelang laku terjual dan nilainya sama persis dengan biaya pengobatan.

Malam itu, di ruang tunggu rumah sakit, Bu Susi berkata pada anak-anak. "Nak, seburuk apapun perilaku Bapak, dia tetap bapakmu. Tanpa dia, kamu tidak ada di dunia. Jadi ikhlas ya nak, nanti uang bisa ibu cari lagi"

Bu Susi menolong suaminya, yang telah menyiksanya.

...

Jakarta

4 November 2020

Sang Babu Rakyat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun